Jumat, 20 Juni 2008

Puasa

Puasa adalah rukun yang keempat bagi agama Islam. Barangsiapa yang menentangnya, atau mengingkarinya, atau sengaja tidak mau melakukannya tanpa ada udzur (alasan) yang dibenarkan oleh agama Islam atau karena sakit, maka benar-benar dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan imannya berkurang.

Puasa dan Problematikanya
Derajat puasa
Asal puasa
Rukun puasa
Puasa sunnat
I'tikaf
Puasa bulan Sya'ban dan hikmahnya

Puasa dan Problematikanya
Puasa adalah rukun yang keempat bagi agama Islam. Barangsiapa yang menentangnya, atau mengingkarinya, atau sengaja tidak mau melakukannya tanpa ada udzur (alasan) yang dibenarkan oleh agama Islam atau karena sakit, maka benar-benar dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan imannya berkurang.

Barangsiapa yang sengaja mengurangi imannya dan tidak mau bertaubat, maka benar-benar dia telah dengan sengaja membuat kemurkaan Tuhannya. Barangsiapa yang sengaja membuat kemarahan Tuhannya, maka benar-benar dia telah mengkufuri nikmatNya. Barangsiapa yang bertaubat dan memperbaiki kelakuannya, dan kembali kepada Tuhannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang, Maha Pengampun lagi Maha Dermawan.

Puasa itu, sebagaimana definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqih, adalah menahan diri dari makan, minum, bersetubuh, dan dari setiap hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari, dengan niat yang murni hanya karena mematuhi perintah Allah swt.

Puasa itu adalah zakat (pembersih) bagi badan, berdasarkan sabda Nabi saw.:

لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ

Setiap sesuatu itu ada zakatnya, sedangkan zakat dari jasad adalah puasa.

Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

اِنَّمَا الصَّوْمُ جُنَّةٌ

Hanyasanya puasa itu adalah benteng. Artinya penjagaan yang dapat menjaga manusia dari kejahatan dua musuhnya, yaitu Syaithan dan Nafsu.

Tujuan puasa
Bukanlah tujuan dari puasa itu melarang makan dan minum yang tidak bermanfa'at bagi Allah, serta tidak memberi melarat kepada-Nya karena membolehkan makan dan minum. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi menghendaki dengan pencegahan makan dan minum, adalah agar orang yang berpuasa dapat merasakan panas perut sebab lapar dan sangat kehausan; dan agar seseorang muslim yang telah diberi nikmat oleh Allah itu dapat mengerti bahwa sesungguhnya tidak sah baginya untuk memenuhi perutnya dan berbuat boros dalam membelanjakan hartanya untuk makanan dan minumannya, sedang di dekatnya banyak keluarga dan kerabatnya serta saudara-saudaranya yang muslimmenderita kelaparan dan kehausan.

Dengan puasa ini, diharapkan akan bangkit dalam dirinya rasa belas dan kasihan, sehingga akan cepat-cepat memberi bantuan kepada mereka dan bersekutu dengan mereka dalam menikmati kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah swt. kepadanya.

Ini adalah dari satu segi. Dan dari segi yang lain, puasa itu adalah berpantang tahunan yang diatur. Para dokter modern telah menetapkan bahwa berpantang dan mengatur makan serta membatasi waktu-waktunya adalah pengobatan yang paling bagus yang dapat mendatangkan kesehatan yang normal dan pertumbuhan jasmani.

Dan telah jelas bahwa penyakit-penyakit yang paling berbahaya tidak mungkin dapat ditanggulangi, kecuali dengan puasa. Sedangkan para dokter telah mengakui hal tersebut.

Cukup kiranya bagi anda bahwa Napoleon Bonaparte dari Perancis yang tersohor di kalangan bangsa Eropa pada umumnya dan bangsa Perancis pada khususnya, salah seorang pemimpin dunia yang besar, pernah berkata: "Obat saya adalah puasa".

Bukanlah tujuan dari puasa itu mencegah dari makan dan minum saja, tetapi juga mencegah lisan dari omongan yang tidak berguna, menggunjing orang lain, mengadu domba, dusta, berbantah dan bermusuhan. Rasulullah saw. telah bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فِى اَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ .

( عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ )

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan omongan dan perbuatan dusta, maka tidak ada hajat bagi Allah dalam meninggalkan makanan dan minumannya". (Hadits dari Abu Hurairah)

Rasulullah saw. bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الاَكْلِ وَالشُّرْبِ ، وَاِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَاِنْ شَابَّكَ اَحَدٌ اَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ : اِنِّى صَائِمٌ ، اِنِّى صَائِمٌ؛ فَكَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلاَّ الظَّمَأُ ، وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ اِلاَّ السَّهَرُ. وَفِى رِوَايَةٍ : كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لِهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ.

Bukanlah puasa itu dari makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu dari yang tidak berguna dan keji. Jika seseorang memaki kamu atau berbuat bodoh kepadamu, maka katakanlah: Sungguh aku orang yang berpuasa, sungguh aku orang yang berpuasa. Maka banyak orang yang berpuasa, tidak ada baginya pahala dari puasanya kecuali haus, dan banyak orang yang shalat di malam bulan Ramadlan, tidak ada baginya pahala dari shalatnya, kecuali jaga malam. Dalam satu riwayat: Banyak orang berpuasa, tidak ada baginya pahala dari puasanya, kecuali lapar dan haus.

Rasulullah saw. bersabda:

اَلصَّائمُ فِى عِبَادَةٍ مِنْ حِيْنِ يُصْبِحُ اِلَى اَنْ يُمْسِيَ مَالَمْ يَغْتَبْ مُسْلِمًا اَوْ يُؤْذِهِ، فَاْذَا اغْتَابَ خَرَقَ صَوْمَهُ. وَفِى رِوَايَةٍ: اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ وَحِصْنٌ حَصِيْنٌ مَنَ النَّارِ مَالَمْ يَخْرِقْهَا بِكَذِبٍ اَوْ غِيْبَةٍ.

Orang yang berpuasa itu tetap dallam ibadah sejak waktu pagi sampai waktu sore, selama dia tidak menggunjing (ngrasani) seseorang muslim atau menyakitinya. Jika dia berbuat ghibah (menggunjing), maka dia telah merusak puanya. Dalam satu riwayat: Puasa itu adalah benteng yang kuat yang membentengi orang yang berpuasa dari api neraka, selama dia tidak merusak benteng tersebut dengan berdusta dan ghibah.

Fardlu puasa
Allah swt. telah mewajibkan puasa dan menjadikannya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun beribadah kepada Allah 'azza wa jalla yang terpenting. Dan Allah telah mengagungkan pahala dari puasa, serta telah menetapkan atas dzatNya sendiri akan balasan yang baik. Dalam surat Al Baqarah ayat 183-184 Allah swt. telah berfirman:

يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ . اَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ ، فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ، وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ ، فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ .

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu sekalian agar kamu bertaqwa; (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sekalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui"

Dalam ayat di atas Allah swt. menjelaskan kepada kita, bahwa:

Sesungguhnya puasa itu adalah diwajibkan kepada kita sebagaimana puasa tersebut telah diwajibkan pada para ummat sebelum kita, karena dalam puasa tersebut terdapat pendidikan jiwa dan mempersiapkannya bagi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sesungguhnya bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian jauh, diperbolehkan untuk berbuka puasa, kemudian membayar fidyah untuk setiap hari yang dia berbuka dengan memberi makan seorang miskin.

Sesungguhnya orang yang berpuasa sebagai tambahan dari puasa Ramadlan, maka baginya ada pahala seperti pahala orang yang melakukan shalat sunnat. Dan barangsiapa yang mencukupkan diri dengan puasa Ramadlan, maka tidak ada dosa baginya. Dan sesungguhnya puasa dari orang-orang yang diperbolehkan berbuka, apabila mereka yakin puasanya tidak membahayakan, maka puasanya itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka

Derajat puasa

Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkat, yaitu: puasa umum, puasa khusus, dan puasa istimewa.

Puasa umum, yaitu menahan perut dari makanan dan menahan kemaluan serta apa saja yang berada dalam hukumnya dari kelezatan-kelezatan dan keinginan-keinginan nafsu.
Puasa khusus, yaitu menahan perut dan kemaluan, beserta menahan pendengaran dari mendengarkan omongan yang tidak bergunadan apa saja yang haram didengarkan; menahan penglihatan dari melihat apa yang haram dilihat; menahan tangan dari setiap sesuatu yang dilarang oleh hukum syara', dan apa saja yang masuk dalam pengertian ini.
Pada pokoknya, menahan semua anggota badan melakukan setiap sesuatu yang haram dikerjakan, yaitu puasa orang-orang yang shalih. Dan kesempurnaannya adalah enam perkara:

Memejamkan mata dari membiarkan memandang kepada apa saja yang menyibukkan hati dari mengingat Allah, dan apa saja yang dapat melupakan manusia dari mengingat akhirat. Nabi Muhammad saw. bersabda:
اَلنَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ اِبْلِيْسَ لَعَنَهُ اللّهُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللّهِ آتَاهُ اللّهُ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ اِيْمَانًا يَجِدُ حَلاَوَتَهُ فِى قَلْبِهِ .

"Pandangan itu adalah anak panah yang beracun dari anak panah-anak panah Iblis yang dila'nat Allah. Barang siapa yang meninggalkan pandangan tersebut karena takut kepada Allah, maka Allah ta'ala 'azza wa jalla akan mem berinya iman yang akan dia dapati kesedapannya dalam hatinya".

Menjaga lisan dari: ucapan yang keji, mengobrol, berdusta, menggunjing orang (ghibah), dan mengadu domba. Dan mengharuskan lisan untuk diam dan tida kberbicara kecuali dalam kebaikan, berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur'an.
Menahan pendengaran dari mendengarkan kepada setiap yang makruh. Allah swt. telah menghubungkan orang yang mendengarkan hal yang dibenci oleh agama dengan orang yang memakan makanan yang haram dalam firman-Nya:
سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكَّالُوْنَ لِلسُّحْتِ . . . الآية ( المائدة : 42)

"Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengarkan berita bohong, banyak memakan yang haram . . . " (Al Ma'idah : 42)

لَوْلاَ يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالاَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإِثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ . . . الآية ( المائدة : 63)

"Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? . . . " ( Al Ma'idah : 63)

Nabi Muhammad saw. bersabda:

اَلْمُغْتَابُ وَالْمُسْتَمِعُ شَرِيْكَانِ فِى الإِثْمِ

"Orang yang menggunjing orang lain dan yang mendengarkan adalah bersekutu keduanya dalam dosa".

لَوْلاَ يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالاَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإِثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ . . . الآية

( المائدة : 63)

"Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? . . . " ( Al Ma'idah : 63)

Nabi Muhammad saw. bersabda:

اَلْمُغْتَابُ وَالْمُسْتَمِعُ شَرِيْكَانِ فِى الإِثْمِ

"Orang yang menggunjing orang lain dan yang mendengarkan ada-lah bersekutu keduanya dalam dosa".

Mencegah semua anggauta badan dari hal-hal yang haram dan hal-hal yang makruh, dan menjaga perut pada waktu berbuka dari makanan yang syubhat. Maka janganlah berbuka pada daging orang dengan ghibah atau pada makanan yang diusahakan dengan cara yang tidak halal.
Hendaknya jangan banyak makan pada waktu berbuka sehingga perutnya penuh. Karena memenuhi perut itu akan menimbulkan nafsu bahimiyyah (nafsu kebinatangan), sehingga membangkitkan nafsu syahwat yang telah tenang sepanjang hari.Dan juga, jiwa dan rahasia puasa itu adalah melemahkan kekuatan yang menjadi perantara syaithan. Sedang melemahkan kekuatan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan menyedikitkan makan. Dan apabila perantara-perantara syaithan itu menjadi lemah, maka hati menjadi kuat, sehingga dapat melihat dengan mata hati akan keagungan alam malakut dan keindahan dari apa saja yang telah diciptakan oleh Allah swt. bagi alam semesta ini.
Setelah berbuka, hendaklah hatinya ditempatkan diantara berharap agar puasanya diterima oleh Allah dan khawatir jika puasanya ditolak oleh-Nya, karena tidak ada orang yang tahu apakah puasanya diterima atau tidak.
Puasa istimewa, yaitu menahan diri dari memenuhi keinginan perut dan kemaluan, dan menahan/memenjara hati dan fikiran dari selain Allah; sehingga tidak memikirkan sesuatupun dari urusan-urusan dunia secara mutlak, sekira apabila memikirkan sesuatu urusan dari urusan-urusan dunia dan menjauh sejauh ujung jari saja dari memikirkan Penciptanya, maka benar-benar telah berbuka puasa (puasanya batal). Dan derajat ini telah sampai pada memenjara hati pada keadaan yang apabila memikirkan sesuatu yang dapat dipergunakan untuk berbuka puasa di waktu maghrib, maka benar-benar telah berbuka dengan pemikiran ini. Puasa ini adalah khusus bagi para nabi dan para rasul as.
Hikmah disyari'atkan puasa dan keutaman-keutamaannya
Puasa itu adalah ibadah khusus kepada Allah, yang selain Allah tidak disembah dengan puasa. Puasa ini dapat menjaga orang yang melakukannya dari kesesatan di dunia dan dari siksa neraka di akhirat. Puasa dapat mengha rumkan bau mulut di sisi Allah, membuat gembira orang yang berpuasa di dunia dan di akhirat, mengangkat bagi orang yang mengingatnya di muka umum, menyehatkan badan dari penyakit-penyakit, mengagungkan pahala dan mendekatkan kepada Allah ta'ala. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqiy, Ahmad dan Al Bazzaar, Rasulullah saw. bersabda:

اُعْطِيَتْ اُمَّتِى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِى . اَمَّا وَاحِدَةٌ : فَاِنَّهُ اِذَا كَانَ اَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ يَنْظُرُ اللّهُ عَزَّ وَجَلَّ اِلَيْهِمْ ، وَمَنْ نَظَرَ اللّهُ اِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ اَبَدًا . وَاَمَّا الثَّانِيَةُ : فَاِنَّ خُلُوْفَ اَفْوَاهِهِمْ حِيْنَ يُمْسُوْنَ اَطْيَبُ عِنْدَ اللّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ . وَاَمَّا الثَّالِثَةُ : فَاِنَّ الْمَلآئِكَةَ يَسْتَغْفِرُ لَهُمْ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ . وَاَمَّا الرَّابِعَةُ : فَاِنَّ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَأْمُرُ جَنَّنَتَهُ فَيَقُوْلُ لَهَا : "اِسْتَعِدِّى وَتَزَيَّنِى لِعِبَادِى ، اَوْشَكَ اَنْ يَسْتَرِيْحُوْا مِنْ تَعَبِ الدُّنْيَا اِلَى دَارِى وَكَرَامَتِى" . وَاَمَّا الْخَامِسَةُ : فَاِنَّهُ اِذَا كَانَ آخِرُ لَيْلَةٍ غَفَرَ اللّهُ لَهُمْ جَمِيْعًا ؛ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : "اَهِيَ لَيْـلَةُ الْقَدْرِ يَا رَسُوْلَ اللّهِ ؟" فَقَالَ : "لاَ ، اَلَمْ تَرَ اِلَى الْعُمَّالِ يَعْمَلُوْنَ ؟؛ فَاِذَا فَرَغُوْا مِنْ اَعْمَالِهِمْ وُفُّوْا اُجُوْرَهُمْ ". ( رَوَاهُ الْبَيْهِقِيُّ وَاَحْمَدُ وَالْبَزَّارُ )

"Dalam bulan Ramadlan ummatku diberi lima perkara yang kelimanya tidak diberikan kepada seseorang nabipun sebelum saya. Adapun yang pertama: Sesungguhnya jika terjadi malam pertama dari bulan Ramadlan, Allah 'azza wa jalla berkenan memandang kepada mereka. Dan barang siapa yang Allah telah memandang kepadanya, makaAllah tidak menyiksanya selama-lamanya. Yang kedua: Sesung guhnya bau busuk dari mulut mereka pada waktu sore adalah lebih harum di sisi Allah dari pada bau harum minyak misik. Yang ketiga: Sesungguhnya para malaikat memintakan ampun kepada mereka setiap siang dan malam. Yang keempat: Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla memerintahkan sorganya seraya berfirman kepadanya: "Bersiap-siaplah engkau dan berhiaslah untuk para hamba-Ku; mereka hampir beristirahat dari kepayahan hidup di dunia, menuju rumah-Ku dan kemuliaan-Ku!". Yang kelima: Sesungguhnya apabila terjadi malam terakhir dari bulan Ramadlan, Allah mengampunkan mereka semua-nya. Ada seorang laki-laki dari kaum berkata: "Apakah itu lailatul qadar wahai Rasulullah?". Kemudian beliau bersabda: "Tidak!; tiadakah engkau melihat kepada para pekerja yang bekerja?; jika mereka selesai dari pekerjaan-pekerjaan mereka, maka dicukupkan upah mereka". ( HR. Al Baihaqiy, Ahmad dan Al Bazzaar)

Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad saw. , beliau bersabda: "Allah swt. berfirman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ اِلاَّ الصِّيَامَ فَاِنَّهُ لِى وَاَنَا اَجْزِى بِهِ ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ اَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ؛ فَاِنْ سَابَّهُ اَحَدٌ اَوْ قَاتَلَهُ ، فَلْيَقُلْ : اِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ ؛ وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ اَطْيَبُ عِنْدَ اللّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ ؛ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا : اِذَا اَفْطَرَ فَرِحَ ، وَاِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ .

"Setiap amal anak Adam (manusia) adalah baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah bagi-Ku dan Aku yang akan memberi balasan kepadanya. Puasa itu adalah benteng, Apabila terjadi hari puasa salah seorang dari kamu sekalian, maka janganlah dia berkata keji dan jangan omong keras. Jika salah seorang mema kinya atau memeranginya, maka hendaklah dia berkata: "Sesungguhnya aku adalah orang yang berpuasa!". Demi Dzat yang diri Muhammad berada pada kekuasaannya, sungguh bau busuk mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah dari pada bau harum minyak misik. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan yang dapat dia rasakannya: Apabila berbuka, maka dia bergem bira, dan apabila dia berjumpa Tuhannya, maka dia bergembira dengan puasanya". (HR. Lima orang ahli hadits).

Pengertian dari hadits di atas adalah bahwa Allah swt. berfirman:

"Setiap amal dari anak Adam adalah baginya", artinya bagi dirinya ada bagian dari amal tersebut yang dapat dipercepat di dunia, seperti pangkat dan diagungkan, serta pujian dari orang-orangkepadanya karena mereka melihat amal-amalnya.
"Kecuali puasa" , karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku yang murni dari riya', dan rahasia antara Aku dan hamba-Ku, karena puasa itu tidak kelihatan (tersembunyi).
"Dan Aku akan memberi balasan kepadanya" , artinya dengan balasan yang pantas bagi pangkat Tuhan Yang Maha Agung.
"Puasa adalah benteng", artinya penjagaan yang dapat menjaga dari kemaksiatan-kemaksiatan, karena puasa itu melemahkan syahwat, bahkan dapat menjaga dari api neraka, sebab puasa itu adalahmenahan diri dari keinginan-keinginan nafsu, sedang neraka itu diliputi oleh keinginan-keinginan nafsu.
"Dan apabila terjadi hari puasa salah seorang dari kamu sekalian, maka janganlah dia berkata keji", karena puasa itu adalah ibadah, maka jangan dikotori dengan omongan yang keji.
"Jangan omong keras", artinya jangan mengeraskan suara sebab bertengkar dan jangan berteriak.
"Jika seseorang memakinya atau memeranginya, hendaklah dia berkata: "Sesungguhnya saya orang yang berpuasa", artinya hendaklah dia mengucapkan dengan lesannya "Sesunguhnya saya orang yang berpuasa. Dalam ucapan tersebut terdapat penolakan nafsu dan ketenangan hati dan contoh yang baik.

Kemudian Nabi saw. bersumpah bahwa bau busuk dari mulut orang yang berpuasa, artinya perubahan bau mulut sebab tidak makan adalah dicintai di sisi Allah. Perubahan bau mulut tersebut adalah lebih harum di sisi Allah dari pada bau harum minyak misik.
Kemudian Nabi saw. menegaskan bahwa bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan. Pertama: Apabila dia berbuka, maka dia gembira dengan bukanya. Dan yang kedua, apabila dia bertemu Tuhannya, maka dia bergembira dengan apa yang dijanjikan oleh Allah swt. mengenai kenikmatan yang langgeng.

Ahlus Sunnah wal Jamaah & Ijtihad

Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Indeks
Asal kata
Pengertian
Analisis
Proses perkembangan
Prinsip kebenaran
Argumentasi
Perilaku ahlus sunnah wal jamaah
Berijtihad vs bermadzhab
Persyaratan ijtihad
Reorientasi agamawi
Kesimpulan

Asal kata
Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:

مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.

Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.

Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:

Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.

Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.

Analisis
Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

Kata ahlu sudah jelas.
Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.

Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.

Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui:
sebab musabab sesuatu hadits timbul, situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.
Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.

Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.

Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.

Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

Dengan pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian:

assunnah wal jamaah: persis sama dengan
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
, yaitu:

ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan
dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.
ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.

Proses perkembangan
Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.

Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri.

Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.

Kemudian muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.

Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.

Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:

Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.

Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.
Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.

Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.

Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan.

Prinsip kebenaran
Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:

nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.
ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.

penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.

sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.

Metoda yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:

Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.
Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.

Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.

Argumentasi
Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:

1. Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.

2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.

3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.

4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:

Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.

Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.

5. Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak.

Perilaku ahlus sunnah wal jamaah
Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:

Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.
Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.

Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.
Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.

Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.

Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.

Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal.

Berijtihad vs bermadzhab
Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.

Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.

Persyaratan ijtihad
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:

Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.

Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif:

Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:

Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.

Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.

Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.

Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.

Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya.

Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan.

Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan.

Reorientasi agamawi
Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang.

Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.

Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.

Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.

Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:

اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا *
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ...
Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."

Kesimpulan
Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.

Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.
Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.

Penyusun
A. Muchith Muzadi (Jember, 21 Muharram 1395)
Editor:
Ahmed Machfudh(Jakarta, 21 Dzulhijjah 1425)

Sejarah Seputar Pendirian NU: Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy'ari

Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”

Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.

Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.

Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.

Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).

Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).

Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.

Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.

Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.

Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:

“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”

Lebih tegas beliau menyatakan:

“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”

Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.

Wallahu a’lam.

Penulis:
Moh. Syaiful Bakhri

Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?

Oleh KH Bishri Musthofa

Soal : Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?

Fathul Mu’in hanya menerangkan:

لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد

Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.

Adakah pada saudara dalil yang melarang tambahan sayyidina?

لاَ تَُسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ

Bukankah hadits itu melarang membaca sayyidina di dalam sholat?

Di manakah saudara dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu

سَيَّدَ - يُسَيِّدُ

di dalam lughoh tidak atau belum pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu.

سَوَّدَ - يُسَوِّدُ

Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul ‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar:

إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا *
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.

Adapun masdarnya siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:

ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا

Lihat al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti harfiahnya (letterlijk) adalah ”Jangan engkau mempertuan aku di dalam sholat”. Kami membaca "sayyidina" itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.

Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam bahasa Arab (Jawa) bendoro?

Tidak selamanya kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya: yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah ayat 55 surat Yusuf.

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ

Kisah-kisah orang taubat

Awan yang Mengikuti Orang Bertaubat

Diriwayatkan bahwa seorang tukang jagal (penyembelih binatang) terpesona kepada budak tetangganya. Suatu saat gadis itu mendapat tugas menyelesaikan urusan keluarganya di desa lain. Si tukang jagal lalu mengikutinya dari belakang sampai akhirnya berhasil mendapatkannya. Si tukang jagal lalu memanggil gadis itu dan mengajaknya menikmati kesempatan langka dan indah itu. Tetapi gadis itu menjawab, "Jangan lakukan. Meskipun aku sangat mencintaimu, tetapi aku sangat takut kepada Allah".

Mendengar jawaban itu, si tukang jagal merasa dunia berputar. Karena menyesal dan sadar, hatinya gemetar, tenggorokannya kering dan hatinya semakin berdebar, dia lalu berkata, "Kau takut kepada Allah sedangkan aku tidak".

Dia pulang sambil bertaubat. Ketika berada di jalan ia diserang rasa haus dan nyaris mati. Ia kemudian bertemu dengan seorang yang sholeh dan mereka berjalan bersama. Mereka melihat gumpalan awan berjalan menaungi mereka berdua, sampai mereka masuk ke sebuah desa. Mereka berdua yakin bahwa awan itu untuk orang yang sholeh. Kemudian mereka berpisah di desa tersebut. Awan itu ternyata condong dan terus menaungi si tukang jagal sampai dia tiba di rumahnya. Orang sholeh tadi heran melihat kenyataan ini. Dia lalu mengikuti tukang jagal tadi lantas bertanya kepadanya dan dijawabnya pula di tempat itu. Maka laki-laki sholeh itu berkata, "Janganlah heran terhadap apa yang kau lihat, karena orang yang bertaubat kepada Allah itu berada di suatu tempat yang tak seorang pun berada di situ".

Pendeta yang Insaf

Ibrahim Al Khawas ialah seorang wali Allah yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala doanya oleh Allah. Beliau pernah menceritakan suatu peristiwa yang pernah dialaminya. Katanya, "Menurut kebiasaanku, aku keluar menziarahi Makkah tanpa kendaraan dan kafilah. Pada suatu waktu, tiba-tiba aku tersesat dan kemudian aku bertemu dengan seorang rahib Nasrani (Pendeta Kristian) ". Ketika dia melihatku dia pun berkata, "Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?".

Ibrahim segera menjawab, "Ya, tidaklah aku akan menghalangi kehendakmu itu". Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya selama tiga hari tanpa meminta makanan sehingga rahib itu menyatakan rasa laparnya kepadaku, katanya, "Tidaklah aku ingin memberitahukan padamu bahwa aku telah menderita kelaparan. Karena itu berilah aku sesuatu makanan yang ada padamu".

Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun memohon kepada Allah dengan berkata, "Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah engkau mempermalukan aku di hadapan seteru engkau ini".

Belum selesai Ibrahim berdoa, tiba-tiba turunlah hidangan dari langit berisi dua keping roti, air minum, daging masak dan tamar. Maka mereka pun makan dan minum bersama-sama. Sesudah itu aku pun meneruskan perjalananku. Setelah tiga hari tanpa makanan dan minuman, dikala pagi, aku pun berkata kepada rahib itu, "Hai rahib Nasrani, berikanlah kepadaku sesuatu makanan yang ada padamu". Rahib itu menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun hidangan dari langit seperti yang diturunkan kepadaku dulu".

Sambung Ibrahim lagi, tatkala aku melihat yang demikian itu, maka aku pun berkata kepada rahib itu "Demi kemuliaan dan ketinggian Allah, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan (hal ini) kepadaku". Jawab rahib itu, "Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka aku mengenal kemuliaanmu, lalu akupun memeluk agama engkau. Sesungguhnya aku telah membuang-buang masa di dalam kesesatan dan sekarang aku telah mendekati Allah dan berpegang kepadaNya. Dengan kemuliaan engkau, tiadalah Allah mempermalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau lihat sekarang ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah Syahadah)".

"Maka gembiralah aku setelah mendengar jawaban rahib itu. Kemudian aku pun meneruskan perjalanan sehingga sampai di Makkah Al Mukarramah. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari lagi di tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tidak kelihatan olehku, lalu aku mencarinya di Masjidil Haram, tiba-tiba aku mendapatinya sedang bersembahyang di sisi Ka’bah". Setelah rahib itu selesai bersembahyang maka dia pun berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya sudah dekat perjumpaanku dengan Allah, maka jagalah olehmu persahabatan dan persaudaraanku denganmu".

Setelah dia berkata begitu, tiba-tiba dia menghembuskan nafas terakhirnya. Seterusnya Ibrahim menceritakan, "Maka aku merasa amat berduka atas kepergiannya. Aku segera mengurus jenazahnya dan pemakamannya. Ketika tidur aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang begitu elok sekali tubuhnya, dihiasi dengan pakaian sutera yang indah". Melihat hal itu, Ibrahim pun terus bertanya, "Bukankah engkau sahabatku, apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?".

Dia menjawab, "Aku berjumpa dengan Allah dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan diampuniNya semua itu karena aku berprasangka baik kepadaNya dan Dia menjadikan aku seolah-olah bersahabat dengan engkau di dunia dan bertetangga dengan engkau di akhirat".

Begitulah persahabatan diantara dua orang yang berpengetahuan dan beragama sehingga memperoleh hasil yang baik. Walaupun orang tersebut dulunya beragama lain, tetapi berkat keikhlasan dan pengabdiannya kepada Allah, dia ditunjukkan pada agama Islam dan bisa mendalami ajaran-ajarannya".

Taubat Nabi Adam a.s.

Tahukah saudara semenjak Nabi Adam dikeluarkan dari syurga akibat tipu daya iblis, beliau menangis selama 300 tahun. Nabi Adam tidak mengangkat kepalanya ke langit karena terlanjur malu kepada Allah SWT. Beliau sujud di atas gunung selama seratus tahun. Kemudian menangis lagi sehingga air matanya mengalir di jurang Serantip.

Dari air mata Nabi Adam itulah Allah menumbuhkan pohon kayu manis dan pohon cengkeh. Beberapa ekor burung telah meminum air mata beliau. Burung itu berkata, "Sedap sekali air ini". Terdengar Nabi Adam oleh kata-kata burung tersebut. Beliau menyangka burung itu sengaja mengejeknya karena perbuatan durhakanya kepada Allah. Hal ini membuat Nabi Adam semakin hebat menangis.

Akhirnya Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Adam "Hai Adam, sesungguhnya Aku belum pernah menciptakan air minum yang lebih lezat dan lebih hebat dari air mata taubatmu itu".

Allah Maha Pengampun

Di zaman Nabi Musa ada seorang fasik yang suka melakukan kejahatan. Penduduk negeri tersebut tidak mampu lagi mencegah perbuatannya, lalu mereka berdoa kepada Allah. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Musa supaya mengusir pemuda itu dari negerinya agar penduduknya tidak ditimpa bencana. Lalu keluarlah pemuda tersebut dari kampunganya dan sampai di suatu kawasan yang luas, dimana tidak seekor burung atau manusiapun hidup.

Selang beberapa hari pemuda itu jatuh sakit. Merintihlah ia seorang diri, lalu berkata: "Wahai Tuhanku, kalaulah ibuku, ayahku dan isteriku berada di sisiku sudah tentu mereka akan menangis melihat waktu akan memisahkan aku dengan mereka (mati). Andaikata anak-anakku ada di sisiku pasti mereka berkata: "Ya Allah, ampunilah ayah kami yang telah banyak melakukan kejahatan sehingga ia diusir dari kampungnya ke tanah lapang yang tidak berpenghuni dan keluar dari dunia menuju akhirat dalam keadaan putus asa dari segala sesuatu kecuali rahmatMu ya Allah".

Terakhir kali pemuda itu berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau putuskan aku dari rahmatMu, sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa terhadap sesuatu",. Setelah berkata demikian, matilah pemuda itu.

Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa, firmannya, "Pergilah kamu ke tanah lapang di sana ada seorang waliKu yang telah meninggal. Mandikan, kafankan dan sembahyangkanlah dia". Setiba di sana Nabi Musa mendapati yang mati itu adalah pemuda yang diusirnya dahulu. Lalu Nabi Musa berkata, "Ya Allah, bukankah dia ini pemuda fasik yang Engkau suruh aku usir dahulu". Allah berfirman, "Benar, Aku kasihan kepadanya karena rintihan sakitnya dan berjauhan dari keluarganya. Apabila seseorang yang tidak mempunyai saudara mati, maka semua penghuni langit dan bumi akan sama menangis karena kasihan kepadanya. Oleh karena itu bagaimana Aku tidak mengasihaninya sedangkan Aku adalah Dzat Yang Maha Penyayang di antara penyayang".

Iblis Ingin Bertaubat

Dalam sebuah kitab diterangkan bahwa sesungguhnya Iblis telah berjumpa dengan Nabi Musa dengan berkata: "Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah SWT dan Dia telah berkata denganmu secara langsung". Kemudian Nabi Musa berkata: "Memang benar apa yang kau katakan, kamu ini siapa dan apa yang kamu inginkan dariku?".

Lalu berkata Iblis: "Aku adalah Iblis, Wahai Musa aku mau kamu menolongku, katakan kepada Tuhanmu bahwa seorang makhlukNya ingin minta taubat kepadaNya". Lalu Nabi Musa berdoa kepada Allah SWT dan menyampaikan apa yang diucapkan oleh Iblis, kemudian Allah SWT pun menurunkan wahyu yang kepada Nabi Musa: "Wahai Musa, katakan padanya bahwa sesungguhnya Aku berkenan menerima permohonannya, tetapi dengan syarat dia (Iblis) harus bersujud di kubur Adam, kalau dia mau bersujud, maka aku akan mengampuni segala dosanya".

Setelah Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT, maka Nabi Musa pun segera memberitahukan kepada Iblis tentang apa yang telah Allah perintahkan. Setelah selesai Nabi Musa memberitahukan segala perintah Allah SWT maka dengan sombong dan congkak Iblis berkata: "Wahai Musa, sewaktu Adam hidup di syurga saja aku tidak bersujud, bagaimana aku hendak sujud padanya sesudah dia mati". Begitulah sifat sombong Iblis walaupun dia tahu bahwa api neraka itu akan memakannya tapi dia tetap tidak mau beriman pada Allah SWT.

Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa sesungguhnya Allah SWT mengeluarkan Iblis dari neraka setiap seratus tahun sekali, dan mengeluarkan Adam dari syurga, serta memerintahkan Iblis supaya sujud kepada Adam. Disebabkan sikap angkuhnya, dia tetap enggan bersujud, maka dikembalikan Iblis ke dalam neraka.

Malaikat Rahmat dan Malaikat Adzab

Pada zaman dahulu, ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang. Dia ingin menjumpai pendeta untuk meminta fatwa supaya dia dapat bertaubat dari dosanya. Ketika bertemu dengannya, dia pun menerangkan bahwa dia telah membunuh 99 orang dan bertanya padanya apakah dia masih mempunyai peluang untuk bertaubat. Pendeta dengan tegas mengatakan dia tidak bisa bertaubat karena dosanya terlalu banyak. Lelaki itu mejadi marah dan langsung membunuh pendeta itu, menjadikannya mangsa yang ke seratus.

Dia masih ingin bertaubat dan terus mencari kalau-kalau ada ulama yang bisa membantunya. Akhirnya dia berjumpa dengan seorang ulama. Dia menceritakan bahwa dia telah membunuh seratus orang dan bertanya apakah Allah masih menerima taubatnya. Ulama itu menerangkan dia masih mempunyai harapan untuk bertaubat. Seterusnya dia menyuruh lelaki itu pergi ke sebuah negeri di mana terdapat sekumpulan ‘abid (orang beribadat). Apabila sampai di sana nanti, ulama itu menyuruhnya tinggal di sana dan beribadat bersama mereka. Ulama itu melarangnya pulang ke negeri asalnya yang penuh dengan kemaksiatan.

Lelaki itu mengucapkan terima kasih lalu pergi menuju negeri yang diterangkan oleh ulama tadi. Baru saja sampai setengah perjalanan, dia jatuh sakit lalu meninggal dunia.

Ketika itu terjadilah perdebatan antara dua malaikat, yaitu Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Malaikat Rahmat ingin membawa roh lelaki itu ke syurga karena pendapat dia adalah orang tersebut adalah baik lantaran niatnya untuk bertaubat, sementara Malaikat Azab mengatakan dia mati dalam keadaan su'ul khatimah karena dia telah membunuh seratus orang dan masih belum mempunyai amal kebajikan sedikitpun. Mereka saling berebutan dan tidak dapat memutuskan keadaan lelaki itu.

Allah kemudian mengantar seorang malaikat lain berupa manusia untuk mengadili perdebatan mereka berdua. Dia menyuruh malaikat itu mengukur jarak tempat kejadian itu dengan kedua-dua tempat, adakah tempat kejadian itu lebih dekat dengan tempat kebajikan yang akan dituju atau lebih dekat dengan tempat asalnya yang buruk?. Sekiranya jaraknya lebih dekat dengan tempat kebajikan, dia milik Malaikat Rahmat. Sebaliknya apabila jaraknya lebih dekat dengan tempat asalnya, dia milik Malaikat Azab. Setelah diukur, didapati jarak ke negeri kebajikan melebihi ukuran sejengkal saja. Lalu roh lelaki itu terus diambil oleh Malaikat Rahmat. Lelaki itu akhirnya mendapat pengampunan Allah.

Taubatnya Malik bin Dinar

Diriwayatkan dari Malik bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab dia bertaubat, maka dia berkata: "Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr (arak), kemudian aku beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia melahirkan seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya. Ketika dia mulai bisa berjalan, cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan menuangkannya di bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih atas musibah ini.

Ketika malam dipertengahan bulan Sya’ban pada malam Jum’at, aku meneguk khamr lalu tidur belum shalat isya'. Dalam tidur itu aku bermimpi seakan-akan kiamat itu terjadi, dan terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku berada bersama mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak dibelakangku, ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan, ditengah jalan kutemui seorang syeikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak, maka aku ucapkan salam atasnya dia pun menjawabnya, dan aku berkata: "Wahai syeikh, tolong lindungilah aku dari ular ini"!. Maka syeikh itu menangis dan berkata padaku: "Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu", maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh kedalamnya karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggil-ku, "Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!", aku pun tenang mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang mengejarku kembali. Aku datangi syeikh tadi dan aku katakan, "Wahai syeikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu berbuat apa-apa". Menangislah syeikh itu seraya berkata, "Aku seorang yang lemah tetapi pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau punya barang simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu"

Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera. Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena aku menemui ular besar, tatkala ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak: "Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintu-pintunya dan mendakilah kesana!" Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang dapat melindunginya dari musuhnya (ular). Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku maka aku kebingungan, berteriaklah anak-anak itu: "Celakalah kamu sekalian! Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya". Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah meninggal ikut mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata: "Ayahku, demi Allah!" Kemudian dia me-lompat bagaikan anak panah yang dilepaskan, kemudian dia mengulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan tangan kanan-nya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.

Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya untuk menghelai jenggotku dan berkata: "Wahai ayahku! Ingatlah Firman Allah yang berbunyi "Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka kepada Allah".(QS. Al Hadid: 16).

Maka aku menangis dan berkata: "Wahai anakku, kalian semua faham tentang Al Quran", maka dia berkata: "Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al Quran darimu", aku berkata: "Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku", dia menjawab: "Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka Allah akan memasukkanmu ke dalam api Neraka", aku berkata: "Ceritakanlah tentang Syeikh yang berjalan di jalanku itu", dia menjawab: "Wahai ayahku, itulah amal sholeh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu", aku berkata: "Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?", dia menjawab : Kami adalah anak-anak orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu kalian hingga datang pada kami kemudian kami memberi syafa'at kepada kalian". (HR. Muslim dalam shahihnya No. 2635).

Berkata Malik: "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah".

Taubat Tukang Fitnah

Ada seorang tukang fitnah yang jatuh cinta kepada seorang gadis tetangganya. Suatu hari, keluarga gadis itu mengutusnya ke kampung lain untuk suatu keperluan. Mengetahui hal itu si tukang fitnah pun mengikutinya, lalu melontarkan bujuk rayunya kepada wanita itu.

Gadis itu berkata, "Jangan kau lakukan ini! Sebenarnya cintaku padamu melebihi cintamu kepada-ku, akan tetapi aku takut kepada Allah SWT”. Laki-laki itu berkata, "Kau takut pada Allah, sementara aku tidak takut kepadaNya?" Akhirnya laki-laki itu pulang dengan perasaan penuh tobat kepada Allah SWT. Dalam per-jalanannya ia didera rasa haus yang mencekik tenggorokannya. Dalam kondisi kritis itu tiba-tiba dia bertemu dengan utusan dari seorang nabi Bani Israil dan ditanya, "Mengapa kau ini?".

"Haus," jawabnya. Utusan itu berkata, "Ke sinilah, kita berdoa kepada Allah agar awan menaungi kita hingga sampai tujuan". Laki-laki tukang fitnah itu berkata, "Aku tidak mempunyai amal kebajikan". Utusan nabi itu berkata, "Aku yang berdoa dan engkau tinggal mengamini".

Berdoalah utusan itu dan si tukang fitnah mengaminkannya. Tidak lama kemudian datang awan menaungi mereka hingga mereka tiba di kampung tujuan. Setelah sampai, si tukang fitnah memasuki rumahnya, sedangkan awan itu mengikutinya. Sebelum utusan itu pulang dia berkata, "Engkau telah mengaku tidak mempunyai amal kebajikan, padahal ketika aku berdoa dan engkau mengamin kannya, serta merta awan itu menaungi kita, kemudian aku mengikutimu agar engkau memberitahuku apa sebenarnya yang telah terjadi denganmu". Lalu tukang fitnah menceritakan kisahnya kepada utusan itu. Maka berkatalah utusan nabi itu, "Orang bertobat kepada Allah mendapat kedudukan yang dimana tidak ada seorangpun menyamai kedudukannya".

Paku di Tiang

Beberapa waktu yang silam, ada seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki bernama Mat. Mat membesar menjadi seorang yang lalai menunaikan seruan agama. Meskipun telah banyak berbuih ajakan dan nasihat, seruan dan perintah dari ayahnya agar Mat bersembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, dia tetap meninggalkannya. Sebaliknya amal kejahatan pula yang menjadi rutinitasnya.

Suatu hari seorang ikhwah tersebut memanggil anaknya dan berkata, "Mat, kau ini sangat lalai dan terlalu banyak berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku ke tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan, maka aku akan tancapkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini". Ayahnya berbuat seperti mana yang dia janjikan, setiap hari dia akan memukul beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang.

Hari silih berganti, beberapa purnama berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun beredar. Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat karena hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang menjijikkan tersebut, timbullah rasa malu. Maka dia pun beniat untuk memperbaiki dirinya. Mulai detik itu, Mat mulai sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya sembahyang lagi ditambah dengan sunnah-sunnahnya. Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Mat tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Mat lakukan dan semakin banyak maksiat yang ia tinggalkan, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.

Maka ayahnya pun memanggil anaknya dan berkata, "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan aku akan mencabutnya sekarang. Tidakkah kamu gembira?" Mat merenung pada tiang tersebut, dia mulai menangis tersedak-sedak. "Kenapa anakku?" tanya ayahnya, "Aku menyangka kau gembira karena semua paku-paku tadi telah tiada". Dalam nada yang sayu Mat mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih lubang-lubang dari paku itu tetap ada ditiang, bersama dengan karatnya".

Sesuatu yang dimuliakan, dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hingga akan menjadi suatu kebiasaan, dan kita mungkin bisa mengatasinya atau secara berangsur-angsur kita dapat menghapuskannya, tetapi ingatlah bahwa bekas yang ia tinggalkanya tidak akan hilang. Dari situ, bilamana kita merenungi untuk melakukan suatu kemungkaran, ataupun sedang berniat melakukan kemungkaran, maka berhentilah. Karena setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan bekas lubang pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya. Apa lagi kalau kita biarkan sampai berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.

Penulis:
Bambang TP

Wafatnya Rosulullah SAW

penulis :Ust. Muhsin al-Hamid

Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.


Para Anbiya' telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):

"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati."

Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.


Wafat Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama'beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.

Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.

Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.

Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.

"Assalamu’alaika ya Rasulallah," katanya.

"Waktunya shalat, rahimakallah."

Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,

"Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun."

Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,

"Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw."

Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.

"Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu)."

Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,

"Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah."

Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.

"Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini."

Setiba di dalam masjid dia berkata,

"Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah."

Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.

"Ada apa kok gaduh?" tanya beliau.

"Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah."

Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.

"Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku."

Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,

"Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut."

Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).

"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?"

Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.

"Tolong lelaki itu dijawab."

Fathimah berkata,

"Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah."

Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,

"Fathimah, tolong lelaki itu dijawab."

"Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah."

Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.

"Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk."

Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.

"Fathimah, siapa di pintu?" tanya beliau.

"Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku."

"Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut."

Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,

"Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?"

"Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku."

"Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?"

"Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda."

Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.

"Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah."

"Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad."

"Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril."

"Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad."

"Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril."

"Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat."

"Hanya bagi Allah segala pujian."

"Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?"

"Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?"

"Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’"

"Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu."

Ali r.a. berkata,

"Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?"

Beliau bersabda,

"Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam)."

Fathimah r.a. berkata,

"Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?"

"Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku."

"Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?"

"Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku"

"Kalau aku tidak jumpa?"

"Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’"


Sakaratul Maut

Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,

"Auh."

Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,

"Oh sedihku."

Fathimah menyahut,

"Betapa sedihku, Ayahanda."

Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,

"Jibril, betapa pahitnya kematian."

Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,

"Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?"

"Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?"

Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.

Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.

Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.

"Kami mendengar suara ‘hm'yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun." kenang Ali.

Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,

'Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’

Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril."

Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,

"Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?"

"Ya."

"Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing kea rah kebajikan?"

"Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak."

Seketika Fathimah menangis mengguguk.

"Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit."

Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.

Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali 'Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.

Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.

Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah 'Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

wallahu a'lam

JUAL GORDEN CANTIK

ALYA GORDEN -Kertayasa-Kramat-Tegal Jl. Barat Balai Desa Kertayasa RT02/RW03- Kec.Kramat-Kab Tegal -50M dari Balai desa. Terima pesanan G...