Minggu, 13 Juli 2008

Orang-Orang Yang Dido'akan Malaikat

Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi

Allah SWT berfirman, "Sebenarnya (malaikat - malaikat itu) adalah hamba - hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah - perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa'at melainkan kepada orang - orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati - hati karena takut kepada-Nya" (QS Al Anbiyaa' 26-28)

Inilah orang-orang yang didoakan oleh para malaikat :

Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci'" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

Orang yang duduk menunggu shalat.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia'" (Shahih Muslim no. 469)

Orang-orang yang berada di shaf bagian depan di dalam shalat.
Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

Orang-orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalm shaf).
Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu" (Shahih Bukhari no. 782)

Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku ?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'" (Shahih Muslim no. 2733)

Orang-orang yang berinfak.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

Orang yang makan sahur.
Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang makan sahur" (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

Orang yang menjenguk orang sakit.
Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")

Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Disarikan dari Buku Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Syaikh Fadhl Ilahi, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

Penawar kemaksiatan

Berikut ini ada beberapa terapi mujarab untuk menawar racun kemaksiatan.

1. Anggaplah besar dosamu
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu berkata:"Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya."

2. Janganlah meremehkan dosa
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda :"Janganlah kamu meremehkan dosa, seperti kaum yang singgah di perut lembah. Lalu seseorang datang membawa ranting dan seorang lainnya lagi datang membawaranting sehingga mereka dapat menanak roti mereka. Kapan saja orang yang melakukan suatu dosa menganggap remeh suatu dosa, maka itu akan membinasakannya." (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan)

3. Janganlah mujaharah (menceritakan dosa)
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:"Semua umatku dimaafkan kecuali mujahirun (orang yang berterus terang). Termasuk mujaharah ialah seseorang yang melakukan suatu amal (keburukan) pada malam hari kemudian pada pagi harinya ia membeberkannya, padahal Allah telah menutupinya, ia berkata, 'Wahai fulan, tadi malam aku telah melakukan demikian dan demikian'. Pada maalm hari Tuhannya telah menutupi kesalahannya tetapi pada pagi harinya ia membuka tabir Allah yang menutupinya." (HR.Bukhari dan Muslim)

4. Taubat nasuha yang tulus
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:"Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya tatkala bertaubat daripada seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya di padang pasir yang tandus. Kemudian kendaraan itu hilang darinya, padahal di atas kendaraan itu terdapat makanan dan minumannya. Ia sedih kehilangan hal itu, lalu ia menuju pohon dan tidur di bawah naungannya dalam keaadaan bersedih
terhadap kendaraannya. Saat ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kendaraannya muncul di dekatnya, lalu ia mengambil tali kendalinya.
Kemudian ia berkata, karena sangat bergembira:"Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu'. Ia salah ucap karena sangat bergembira". (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Jika dosa berulang, maka ulangilah bertaubat
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:"Sebaik-baik kalian adalah setiap orang yang diuji (dengan dosa) lagi bertaubat".
Beliau ditanya :"Jika ia mengulangi lagi?"
Beliau menjawab:"Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.
Ditanya lagi:"Jika ia kembali berbuat dosa?
Beliau menjawab:"Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.
Ditanya lagi:"Sampai kapan?
Beliau menjawab:"Sampai setan berputus asa".

6. Jauhi faktor-faktor penyebab kemaksiatan
Orang yang bertaubat harus menjauhi situasi dan kondisi yang biasa ia temui pada saat melakukan kemaksiatan serta menjauh darinya secara keseluruhan dan sibuk dengan selainnya.

7. Senantiasa beristighfar

Saat-saat beristighfar:

a. Ketika melakukan dosa
b. Setelah melakukan ketaatan
c. Dalam dzikir-dzikir rutin harian
d. Senantiasa beristighfar setiap saat

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam beristighfar kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali (dalam hadits lain 100 kali).

8. Apakah anda berjanji kepada Allah untuk meninggalkan kemaksiatan?
Tidak ada bedanya antara orang yang berjanji kepada Allah (berupa nadzar atas tebusan dosa yang dilakukannya) dengan orang yang tidak melakukannya. Karena yang menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam kemksiatan tidak lain hanyalah karena panggilan syahwat (hawa nafsu) lebih mendominasi dirinya daripada panggilan iman. Janji tersebut tidak dapat melakukan apa-apa dan tidak berguna.

9. Melakukan kebajikan setelah keburukan
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:"Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebajikan maka kebajikan itu akan menghapus keburukan tersebut, serta Prlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Ahmad dan irmidzi. Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih)

10. Merealisasikan tauhid
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:"Allah 'Azza wa Jalla Berfirman : "Barangsiapa yang melakukan kebajikan, maka ia mendapatkan pahala sepuluh kebajikan dan Aku tambah dan barangsiapa yang melakukan keburukan keburukan, maka balasannya satu keburukan yang sama, atau diampuni dosanya. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa; barangsiapa yang datang kepada-ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.
Barangsiapa yang menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku menemuinya dengan maghfirah yang sama." (HR. Muslim dan Ahmad)

11. Jangan berpisah dengan orang-orang yang baik

a. Persahabatan dengan orang-orang baik adalah amal shalih
b. Mencintai orang-orang shalih menyebabkan sesorang bersama mereka,walaupun ia tidak mencapai kedudukan mereka dalam amal
c. Manusia itu ada 3 golongan :
i. Golongan yang membawa dirinya dengan kendali takwa dan mencegahnya dari kemaksiatan. Inilah golongan terbaik.

ii. Golongan yang melakukan kemaksiatan dalam keadaan takut dan menyesal. Ia merasa dirinya berada dalam bahaya yang besar, dan ia berharapa suatu hari dapat berpisah dari kemaksiatan tersebut.

iii. Golongan yang mencari kemaksiatan, bergembira dengannya dan menyesal karena kehilangan hal itu.

d. Penyesalan dan penderitaan karena melakukan kemaksiatan hanya dapat dipetik dari persahabatan yang baik
e. Tidak ada alasan untuk berpisah dengan orang-orang yang baik

12. Jangan tinggalkan da'wah
Said bin Jubair berkata:"Sekiranya sesorang tidak boleh menyuruh kebajikan dan mencegah dari kemungkaran sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu (kesalahanpun), maka tidak ada seorangpun yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran."
Imam malik berkomentar:"Ia benar. Siapakah yang pada dirinya tidak ada sesuatupun (kesalahan)."

13. Jangan cela orang lain karena perbuatan dosanya
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menceritakan kepada para shahabat bahwasanya seseorang berkata:"Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan."
Allah swt berkata:"Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapus amalmu." (HR. Muslim).

Disadur secara ringkas dari buku 13 Penawar Racun kemaksiatan terjemahan dari kitab Sabiilun najah min syu'mil ma'shiyyah karangan Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy, terbitan Darul Haq, Jakarta.

Hakekat Mimpi

Seorang manusia apabila tidur, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewafatkannya, yang dikenal dengan kematian shugra (kecil) Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

اللهُ يَـتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَــيْــهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ اْلأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ َلآيــــَاتٍ لِقَوْمٍ يَــتَفَكَّرُونَ . الزمر:42


"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya ; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikan itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir (QS. Az Zumar:42)



Tidur dikatakan dengan kematian kecil dikarenakan saat itu ruh pergi kemana saja sekehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh sebab itu diantara do'a tidur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah :


بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَاغْفِرْ لَهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ . رواه البخاري و مسلم


"Dengan namaMu Tuhan saya berbaring dan denganMulah saya terjaga, apabila Engkau menahan jiwaku, (mewafatkanku) ampunilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (menghidupkannya), jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga (ruh) hamba-hamba-Mu yang shalih" (HR. Bukhari dan Muslim)

Macam-macam mimpi
Mimpi terbagi atas tiga macam : mimpi yang disukai (baik), mimpi yang tak bermakna dan mimpi yang dibenci (buruk). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


الرُّؤْيَا ثَلاَثَةٌ فَبُشْرَى مِنَ اللهِ وَحَدِيثُ النَّفْسِ وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ
رواه أحمد


"Mimpi itu ada tiga macam : Berita gembira dari Allah (mimpi baik), mimpi dari diri sendiri/ ungkapan jiwa (mimpi tak bermakna) dan gangguan syaithan (mimpi buruk)" (HR. Ahmad)

1. Mimpi yang disukai (Baik)
Yaitu apabila seseorang melihat dalam mimpinya sesuatu yang ia sukai. Sesungguhnya mimpi ini datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hal ini merupakan suatu nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada manusia, karena apabila seorang manusia melihat hal-hal yang ia sukai maka hal tersebut dapat menambah semangat dan kegembiraannya dan menjadikan sebagai berita gembira baginya karena diantara berita gembira yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada seorang muslim di dunia adalah mimpi yang baik yang ia mimpikan sendiri atau yang dimimpikan orang lain tentangnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلاَّ الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا: وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ : الرُّؤْيـــَـا الصَّالِحَةُ
رواه البخاري


"Tidaklah tinggal dari tanda-tanda kenabian kecuali berita-berita gembira", para shahabat bertanya :"Apa itu berita-berita gembira?", Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Mimpi yang baik" (HR. Bukhari) Dan dianjurkan baginya untuk menceritakan mimpi yang baik itu kepada orang lain sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :


إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يُحِبُّهَا فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ اللهِ فَلْيَحْمَدِ اللهَ عَلَيْهَا وَلْيُحَدِّثْ بِهَا
رواه البخاري و مسلم


"Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia sukai maka sesungguhnya ia datangnya dari Allah Ta'ala maka bertahmidlah (ucapkan "Al hamdulillah") dan kabarkanlah mimpi baik tersebut (kepada orang lain)" (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Mimpi yang tidak mempunyai makna dan tujuan
Mimpi jenis ini terkadang muncul dari diri sendiri mungkin karena memikirkan sesuatu atau terlalu sibuk akan suatu urusan sehingga hal tersebut muncul dalam mimpinya. Atau bisa jadi mimpi ini merupakan permainan syaithan sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :


إِنِّي حَلَمْتُ أَنَّ رَأْسِي قُطِعَ فَأَنَا أَتَّبِعُهُ فَزَجَرَهُ النَّبِيُّ وَقَالَ: لاَ تُخْبِرْ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِكَ فِي الْمَنَامِ
رواه مسلم


"Sesungguhnya saya telah bermimpi (melihat) kepalaku telah terputus (dari badanku) lalu saya mengikutinya dari belakang, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mencelanya dan bersabda : "Janganlah kamu ceritakan (kepada orang lain) permainan syaithan terhadapmu di dalam mimpi(mu)" (HR. Muslim)

3. Mimpi Buruk
Yaitu apabila seseorang melihat dalam mimpinya sesuatu yang ia benci. Mimpi ini datangnya dari syaithan yakni dengan menampakkan hal-hal yang jelek, yang dengannya seorang manusia dapat terkejut, sedih dan bisa jadi hingga membuatnya sakit, karena syaithan adalah musuh manusia, mereka menyukai apa yang dibenci oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


إِنَّمَا الــنَّجْوَى مِنْ الشَّــيْطَانِ لِــيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَـــيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَعَلَى اللهِ فَلْـــيَــتَوَكَّلْ الْمُؤْمِنُونَ . المجادلة :10


"Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaithan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal" (QS. Al Mujaadalah : 10)

Untuk itu apabila seseorang melihat mimpi yang buruk hendaknya ia meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kejahatan-kejahatan syaithan dan keburukan-keburukan yang ia lihat di dalam mimpinya, dan mimpi buruk ini jangan disampaikan kepada orang lain karena bagaimana pun buruknya mimpi tersebut, hal tersebut tidak dapat membahayakannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا وَلاَ يَذْكُرْهَا ِلأَحَدٍ فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ
رواه البخاري ومسلم


"Apabila (kalian) melihat selain dari itu (mimpi baik) berupa hal-hal yang dibenci, maka sesungguhnya itu datangnya dari syaithan maka berlindunglah (kepada Allah) dari kejahatannya (syaithan) dan janganlah ia menceritakannya kepada seorangpun, karena mimpi tersebut tidak membahayakannya" (Muttafaqun 'Alaihi)

Namun disayangkan yang terjadi sekarang, sebagian orang apabila ia melihat hal-hal yang buruk dalam mimpinya justru berusaha untuk mencari tahu ta'wil dari mimpi tersebut baik dengan mencarinya di dalam buku-buku atau dengan menanyakan langsung kepada orang lain tanpa menyadari bahwa dengan mengungkapkan mimpi buruknya kepada orang lain bisa jadi hal tersebut bisa menjadi suatu kenyataan, jika Allah menghendaki.

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya, demikian pula dengan mimpi buruk. Dan diantara obat dari mimpi buruk tersebut adalah:

a. Meludah ke kiri sebanyak 3 kali dan berta'awwudz kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kejahatan syaithan dan keburukan yang ia mimpikan sebanyak 3 kali kemudian merubah posisi tidur ke sisi yang lain. Apabila ia berbaring pada sisi kiri maka ia merubahnya ke sisi kanan begitupula sebaliknya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثًا وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ
رواه مسلم


"Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia benci, maka hendaknya ia meludah ke kiri sebanyak 3 kali dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan syaithan sebanyak 3 kali dan rubahlah posisi tidurnya dari posisi sebelumnya ke posisi lainnya" (HR. Muslim)

b. Apabila hal-hal di atas telah dilakukan, namun mimpi buruk tersebut masih juga datang, maka hendaknya ia bangun, berwudhu kemudian shalat, dan jangan ia menceritakannya kepada orang lain dengan mengatakan : "Saya telah bermimpi begini dan begitu", akan tetapi hendaknya ia menyembunyikan mimpi buruk tersebut, seakan-akan ia tidak pernah memimpikannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


وَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
رواه أحمد


"Dan apabila ia melihat (dalam mimpinya) sesuatu yang ia benci, maka janganlah ia menceritakannya kepada seorangpun dan hendaknya ia bangun kemudian shalat" (HR. Ahmad) Mimpi bertemu Nabi

Apabila seseorang bermimpi bertemu Nabi maka sesungguhnya ia telah benar-benar melihat beliau, karena syaithan tidak bisa meniru wujud Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :


مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ لَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي
رواه البخاري و مسلم


"Barang siapa yang melihatku dalam mimpi, sesungguhnya ia akan melihatku dalam keadaan terjaga atau seakan-akan melihatku seperti dalam keadaaan terjaga (karena) syaithan tidak dapat meniru wujudku" (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata tabi'in Muhammad bin Sirin رحمه الله (beliau adalah imam dalam ta'bir mimpi) tentang makna hadits di atas : "Hal tersebut (ia benar-benar melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam) apabila sesuai dengan ciri-ciri yang ada pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam".

Diriwayatkan bahwa apabila seseorang datang kepada Muhammad bin Sirin رحمه الله, dan mengatakan bahwa ia telah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam mimpinya, maka beliau berkata kepadanya : "Sebutkan ciri-ciri orang yang engkau lihat dalam mimpimu itu?", apabila orang itu menyebutkan ciri-ciri yang tidak ada pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka beliau berkata : "Sesungguhnya kamu tidak melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam" (Lihat Fathul Bari 12:383-384)

Karenanya seseorang yang merasa pernah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hendaknya mencocokkan ciri-ciri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan orang yang ia lihat dalam mimpinya, apa bila sama maka ia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan jika berbeda maka ia bukanlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, akan tetapi ia hanyalah keragu-raguan yang dimunculkan oleh syaithan walaupun dalam mimpi tersebut ia mengaku sebagai Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Adapun bagi yang mendapatinya sesuai dengan ciri-ciri yang ada pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. maka hal yang wajib untuk diketahui adalah semua hadits-hadits dalam mimpi tersebut harus tidak bertentangan dengan syari'at, dalam artian bahwa apabila salah seorang datang dan mengatakan bahwa dia telah bertemu atau melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam mimpinya dan dia memerintahkannya untuk melakukan sesuatu atau melarang akan sesuatu, namun perintah atau larangan tersebut bertentangan dengan syariat maka berita tersebut adalah berita bohong yang dia buat-buat atau berita yang dia dapatkan dari syaithan, karena tidak mungkin sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam berbeda dengan syariat yang pernah beliau bawa. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah melarang untuk berbohong tentang mimpi dan telah menjulukinya sebagai pembohong besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:


إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفِرَى أَنْ....يُرِيَ عَيْنَهُ مَا لَمْ تَرَ
رواه البخاري


"Sesungguhnya diantara kebohongan yang paling besar adalah (diantaranya) ...mengaku-ngaku pernah melihat (sesuatu dalam mimpinya) yang sebenarnya ia tidak melihatnya.."(HR. Bukhari)

Kalau saja kita dilarang untuk mempercayai mimpi orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam jika dia melarang atau memerintahkan yang tidak sesuai dengan syari'at, maka terlebih lagi jika hanya bermimpi bertemu syaikh fulan atau imam fulan yang mengajarkan ibadah-ibadah atau dzikir-dzikir bid'ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur'an maupun As Sunnah tentu jauh lebih kita tidak percayai. Kita memohon kepada Allah untuk senantiasa memberikan kita mimpi-mimpi yang indah dan di jauhkan dari mimpi-mimpi yang buruk..... Amin


Maraji':Syarh Riyadhus Shalihin jilid 7 hal. 393-402, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin رحمه الله

Salam,
caknur

Rabu, 25 Juni 2008

Muhasabah - Introspeksi

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.

Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”

Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.

Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.”

Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan.

Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:

Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan itu?

Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.

Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?

Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya.

Kalau ia lakukan itu maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf: 6-7)

لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang ibadahnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya?”
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepada setiap hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikannya seolah esok hari.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan karya Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Qomar Suaidi, Lc)

Menjaga Lisan Selalu Berbicara Baik

Oleh: Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dala kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [HR Muslim][1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [HR Bukhori )[2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz:
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz:
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunya:
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”.

Selanjutnya beliau bersabda:
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Berbakti Pada Kedua Orang Tua

Birrul Walidain ( Berbuat Baik pada kedua orang tua )

Makna "Al Birr"

Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam (artinya) :

"Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).

Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al 'Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..

"Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al 'Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya."

(Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)

Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya) :

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan."

(QS. Al Isra' : 24)

Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun".

(Ad Darul Mantsur 5/259)

Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya :

"Termasuk 'Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).

(Al Jami' Li Ahkamil Qur'an Jil 6 hal 238).

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya:

Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).

Hukum Birrul Walidain

Para Ulama' Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.

Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya.

"Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram."

(Ghdzaul Al Baab 1/382)

Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya) :

"Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak".

(An Nisa' : 36).

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini

(Al Adaabusy Syar'iyyah 1/434).

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya) :

"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya".

(QS. Al Isra': 23).

Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).

3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya) :

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).

Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur'an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya) :

"Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu."

(Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).

Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu'Alaihi Wassallam bersabda (artinya) :

"Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua"

(Riwayat Tirmidzi dalam Jami'nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).

4. Hadits Al Mughirah bin Syu'bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam beliau bersabda(artinya) :
"Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta".

(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).

Keutamaan Birrul Walidain

Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia

Dari Abdullah bin Mas'ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah".

(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (artinya) :
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka."

(QS. Al Ahqaf 15-16)

Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu 'Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya".

(Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami'nya dan berkata Al 'Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami'ul Ushul (1/ 406).

Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga :

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga".

(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).

Dari Mu'awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya".

(Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa'i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)

Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah

Sebagaiman hadits yang terdahulu
"Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".

Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur

Diantarnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :
"Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".

Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki
Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.

Wallahu a'lam

Kisah 3 Orang Yang Terkurung Di Gua (Bentuk Tawassul Yang disyari’atkan)

Naskah Hadits

عن عبد اللّه بن عمر- رضي اللّه عنهما- قال : سمعت رسول اللّه يقول : » انطلق ثلاثة رهط ممن كان قبلكم حتى أووا المبيت إلى غار فدخلوه ، فانحدرت صخرة من الجبل، فسدّت عليهم الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا اللّه بصالح أعمالكم، فقال رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران وكنت لا أغْبقُ قبلهما أهلاً ولا مالاً، فنأى بي في طلب شيء يوما، فلم أرِح عليهما حتى ناما : فحلبت لهما غبوقهما، فوجدتهما نائمين، وكرهت أن أغبق قبلهما أهلاً أو مالًا، فلبثت- والقدح على يدي- أنتظر استيقاظهما حتى بَرَق الفجر، فاستيقظا فشربا غبوقهما، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرّج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة، فانفرجت شيئاً لا يستطيعون الخروج « .

قال النبي : » وقال الآخر: اللهم كانت لي بنت عمّ، كانت أحبَّ الناس إلَّي، فأردتها عن نفسها، فامتنعت منّي حتى ألمَّت بها سنة من السنين ، فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار على إن تخلّي بيني وبين نفسها، ففعَلَت، حتى إذا قدَرْتُ عليها، قالت: لا أحِلّ لك أن تفضّ الخاتم إلا بحقّه، فتحرجت من الوقوع عليها، فانصَرَفْتُ عنها وهي أحبّ الناس إلىّ، وتركتُ الذهب الذي أعطيتها، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة، غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها « .

قال النبي : » وقال الثالث : اللهم إني استأجرت أجراء ، فأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي له وذهب ، فثمّرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءني بعد حين ، فقال : يا عبد الله ، أدِّ إلي أجري ، فقلت له : كل ما ترى من أجرك، من الإبل، والبقر، والغنم، والرقيق، فقال : يا عبد الله ، لا تستهزئ بي ، فقلت : إني لا أستهزئ بك فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئا ، اللهم فإن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه ، فانفرجت الصخرة ، فخرجوا يمشون « متفق عليه.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallaahu 'anhuma, dia berkata: “aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:’ada tiga orang yang hidup sebelum kalian berangkat (ke suatu tempat) hingga mereka terpaksa harus berminap di sebuah gua, lalu memasukinya. Tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dari arah gunung lantas menutup rongga gua tersebut. Lalu mereka berkata:’sesungguhnya yang dapat menyelamatkan kalian dari batu besar ini hanyalah dengan (cara) berdoa kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang shalih’ (maksudnya: mereka memohon kepada Allah dengan menyebutkan perbuatan yang dianggap paling ikhlas diantara yang mereka lakukan-red). Salah seorang diantara mereka berkata:’Ya Allah! aku dulu mempunyai kedua orang tua yang sudah renta dan aku tidak berani memberikan jatah minum mereka kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku).

Pada suatu hari, aku mencari sesuatu di tempat yang jauh dan sepulang dari itu aku mendapatkan keduanya telah tertidur, lantas aku memeras susu seukuran jatah minum keduanya, namun akupun mendapatkan keduanya tengah tertidur. Meskipun begitu, aku tidak berani memberikan jatah minum mereka tersebut kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Akhirnya, aku tetap menunggu (kapan) keduanya bangun -sementara wadahnya (tempat minuman) masih berada ditanganku- hingga fajar menyingsing. Barulah Keduanyapun bangun, lalu meminum jatah untuk mereka. ‘Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut sedikit merenggang namun mereka tidak dapat keluar (karena masih sempit-red)’ .

Nabi bersabda lagi: ‘ yang lainnya (orang kedua) berkata: ‘ya Allah! aku dulu mempunyai sepupu perempuan (anak perempuan paman). Dia termasuk orang yang amat aku kasihi, pernah aku menggodanya untuk berzina denganku tetapi dia menolak ajakanku hingga pada suatu tahun, dia mengalami masa paceklik, lalu mendatangiku dan aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia membiarkan apa yang terjadi antaraku dan dirinya ; diapun setuju hingga ketika aku sudah menaklukkannya, dia berkata:’tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’. Aku merasa tidak tega untuk melakukannya. Akhirnya, aku berpaling darinya (tidak mempedulikannya lagi-red) padahal dia adalah orang yang paling aku kasihi. Aku juga, telah membiarkan (tidak mempermasalahkan lagi) emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut merenggang lagi namun mereka tetap tidak dapat keluar (karena masih sempit-red)’ .

Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda lagi: ‘ kemudian orang ketigapun berkata: ‘Ya Allah! aku telah mengupah beberapa orang upahan, lalu aku berikan upah mereka, kecuali seorang lagi yang tidak mengambil haknya dan pergi (begitu saja). Kemudian upahnya tersebut, aku investasikan sehingga menghasilkan harta yang banyak. Selang beberapa waktu, diapun datang sembari berkata: “wahai ‘Abdullah! Berikan upahku!. Aku menjawab:’onta, sapi, kambing dan budak; semua yang engkau lihat itu adalah upahmu’. Dia berkata :’wahai ‘Abdullah! jangan mengejekku!’. Aku menjawab: “sungguh, aku tidak mengejekmu’. Lalu dia mengambil semuanya dan memboyongnya sehingga tidak menyisakan sesuatupun. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Batu besar tersebut merenggang lagi sehingga merekapun dapat keluar untuk melanjutkan perjalanan’. (Muttafaqun ‘alaih)

Seputar Perawi Hadits

Beliau adalah seorang shahabat agung, Abu ‘Abdirrahman, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail, berasal dari suku Quraisy dan al-‘Adawiy.

Beliau juga seorang yang lama berdiam di Mekkah sehingga dinisbatkan kepadanya “al-Makkiy”. Demikian pula, beliau lama tinggal di Madinah setelah di Mekkah, sehingga dinisbatkan kepadanya “al-Madaniy”.

Beliau adalah seorang Imam panutan, masuk Islam saat masih kecil dan berhijrah bersama ayahnya saat belum berusia baligh. Pada perang Uhud, beliau tidak ikutserta karena masih kecil sehingga peperangan pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq (perang Ahzâb). Beliau termasuk orang yang membai’at di bawah pohon.

Beliau banyak mewarisi ilmu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para al-Khulafaur Rasyidun. Wafat pada tahun 73 H.

Penjelasan Kebahasaan

Ungkapan: “inthalaqa tsalâtsatu rahthin min man kâ na qablakum” (’ada tiga orang yang hidup sebelum kalian) yakni tiga orang yang berasal dari Bani Israil.

Ungkapan : “Rahthun” (orang) ; digunakan untuk jumlah dibawah sepuluh orang.

Ungkapan : “an tad-‘ullâha bi shâlihi a’mâlikum” (dengan cara berdoa kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang shalih), yakni bertawassul-lah kepada Allah Ta’ala dan berdoa-lah kepadaNya dengan perantaraan perbuatan-perbuatan yang shalih yang kalian lakukan.

Ungkapan : “Lâ uhillu laka an tafudldla al-Khâtim illâ bihaqqihi” (’tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’), yakni bahwa dia (sepupu perempuannya) memintanya agar tidak menyetubuhinya kecuali dengan cara yang sesuai dengan aturan syara’.
Pelajaran-Pelajaran Yang Dapat Dipetik

Hadits panjang diatas mengandung banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik, diantaranya:
Mengambil pelajaran dan wejangan dari kisah-kisah umat terdahulu
Seorang Muslim patut mempelajari dan merenunginya sehingga dapat bermanfa’at bagi kehidupannya. Bukankah Allah Ta’ala telah mengisahkan banyak sekali kisah-kisah umat-umat terdahulu, terutama para utusan Allah, kepada kita?. Semua itu, tentunya agar generasi selanjutnya dapat memetik pelajaran dari mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q,.s.12/Yûsuf: 111)

Al-Uslûb al-Qashshiy (gaya bahasa yang menggunakan kisah/cerita) dapat membuat pendengar dan pembaca ketagihan untuk mendengar atau membacanya, penuh antusias dan langsung meresponsnya dalam tindakan nyata .

Oleh karena itulah, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam senantiasa dari waktu ke waktu menggunakan metode ini ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya.
Seorang penuntut ilmu perlu juga melakukan metode seperti ini saat menyampaikan kajiannya kepada para pesertanya bilamana dia mendapatkan momen yang tepat untuk itu sebab metode seperti ini memiliki implikasi positif terhadap pemikiran dan akhlaq mereka.

Pentingnya ‘aqidah yang benar dan tauhid yang bersih dari noda syirik
Diantara amalan yang paling agung yang dapat menyelamatkan pelakunya dari bencana yang menimpanya di dunia dan (dari) ‘azab di akhirat adalah ‘aqidah yang benar dan tauhid yang bersih dari noda-noda syirik.
Hal ini tampak dari kisah ketiga orang yang terkurung di dalam gua diatas dimana mereka bersepakat untuk bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui amalan-amalan mereka yang mereka anggap paling afdlal dan telah dilakukan dengan seikhlash-ikhlashnya. Ternyata, begitu cepat mereka merasakan hasilnya di dunia.

Tawassul dengan perbuatan-perbuatan yang shalih
Kisah didalam hadits diantas menunjukkan bahwa bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan-perbuatan yang shalih yang semata-mata mengharap ridla Allah Ta’ala adalah disyari’atkan. Sedangkan bertawassul dengan selain itu, seperti dengan pepohonan, kuburan, para wali dengan memohon kepada mereka sesuatu yang tidak patut kecuali kepada Allah, merupakan syirik yang paling besar yang mengeluarkan pelakunya dari dien Islam. Hal ini didukung oleh firman-firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu…”. (Q,.s. 7/al-A’râf:194)
Dan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah:"Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya, [22]. Dan tiadalah berguna syafat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu…”.[23] (Q,.s. 34/as-Saba’:23)

Urgensi doa
Doa merupakan suatu ibadah dan salah satu bentuk taqarrub yang paling afdlal yang harus dilakukan oleh seorang Mukmin terhadap Rabbnya. Ia juga mengandung makna perlindungan seorang hamba kepada Rabbnya dan bagaimana dia merasakan betapa faqir, hinadina serta lemahnya kekuatan yang ada pada dirinya.

Dalam hal ini, ketiga orang tersebut berlindung kepada Allah Ta’ala dan memohon agar Dia Ta’ala menyelamatkan mereka dari kondisi yang tengah mereka alami melalui doa dan tawassul mereka kepadaNya. Allah berfirman: “Dan Rabbmu berfirman:"Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Q,.s.40/Ghâfir:60)

Dan firmanNya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Q,.s. 2/al-Baqarah:186)

Berbakti kepada kedua orangtua
Hadits diatas juga menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua (birr al-Wâlidain), patuh, melakukan kewajiban terhadap hak-hak keduanya dan mengabdikan diri serta menanggung segala kesulitan dan derita demi keduanya. Diantaranya hak-hak keduanya adalah:
melakukan perintah keduanya selama bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, melayani, membantu dalam bentuk fisik dan materil, berbicara dengan ucapan yang lembut, tidak durhaka serta selalu berdoa untuk keduanya.

Memperbanyak doa untuk keduanya, bersedekah jariyah atas nama keduanya, melaksanakan wasiat, menyambung rahim serta memuliakan rekan-rekan keduanya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, [23]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".[24] (Q,.s. 17/al-Isra’: 23-24)

Berbakti kepada kedua orangtua merupakan sebab terhindarnya dari kesulitan-kesulitan di dunia dan keselamatan dari ‘azab akhirat
Dalam kisah diatas, salah seorang dari mereka, bertawassul kepada Allah melalui perbuatannya yang dianggap paling afdlal dan ikhlas dilakukannya, yaitu berbakti kepada kedua orangtuanya sehingga hal menjadi sebab merenggang dan terbukanya rongga gua dari batu besar yang menutupnya.

Abu Darda’ radhiallaahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “orangtua merupakan pintu pertengahan di surga; jika kamu menginginkannya, maka jagalah ia atau bila (tidak) maka sia-siakanlah “.
Sebagaimana, berbakti kepada kedua orangtua juga merupakan sebab masuk surga, sementara durhaka kepada keduanya merupakan sebab mendapatkan ‘azab di dunia dan akhirat.

Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:”Ada tiga orang yang tidak dapat masuk surga: ‘seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya; orang yang menyetujui terjadinya zina terhadap keluarganya serta wanita yang kelelakian (yang menyerupai laki-laki)”.

Perhatian Islam terhadap kebersihan fisik dan kesucian maknawi
Diantara hal-hal yang sangat diperhatikan oleh Islam, dianjurkan serta berdampak positif terhadap kehidupan manusia setelah mati adalah kebersihan fisik dan kesucian maknawi. Lahiriah seorang Muslim menyingkapkan sisi batiniah dari dirinya. Contohnya dalam kisah ketiga orang diatas; salah seorang diantara mereka tidak jadi melakukan perbuatan keji dan tak senonoh begitu si wanita, yang merupakan sepupunya sekaligus orang yang paling dikasihinya, mengingatkannya akan Rabbnya dan bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang. Karena sikapnya yang dapat menjaga dirinya tersebut, dia akhirnya mendapatkan balasan yang baik di dunia, yaitu dengan merenggang dan terbukanya rongga gua dari batu besar yang menutupnya. Sungguh, apa yang berasal dari sisi Allah adalah lebih baik dan abadi.

Kriteria Mukmin sejati
Seorang Mukmin sejati adalah orang yang selalu menghindari dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, tidak mendekati perbuatan maksiat dan dosa serta senantiasa berkeinginan kuat agar dapat menjumpai Allah nantinya dalam kondisi tersebut.

Urgensi amanah
Amanah merupakan sesuatu yang agung dan bernilai tinggi di sisi Allah Ta’ala, demikian pula di sisi manusia.
Mengingat urgensinya, Allah Ta’ala menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, akan tetapi kemudian amanah tersebut dipikul oleh manusia yang lemah. Bila mengembannya dengan baik, maka akan mendapatkan ganjarannya di dunia dan akhirat, tetapi sebaliknya, bila lalai dan tidak melaksanakannya maka akan menjadi bumerang baginya.

Diantara bentuk amanah adalah:
Mentauhidkan Allah ‘Azza Wa Jalla
Melakukan perbuatan-perbuatan shalih secara umum
Melakukan hak-hak yang terkait dengan orang lain secara umum, dan titipan-titipan, jaminan-jaminan serta hak-hak yang terkait dengan masalah keuangan (menepati dan melunasi sesuai dengan ‘aqad) secara khusus.

Urgensi amal shalih
Amal shalih dengan berbagai jenisnya merupakan sebab berhasilnya seseorang keluar dari rintangan-rintangan serta kesulitan-kesulitan di dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, [2]. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [3] (Q,.s.65/at-Thalâq: 2-3)

(Diambil dari kajian hadits berjudul “Ash-hâb al-Kahf” , ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy [selain Mukaddimah])

Selasa, 24 Juni 2008

Nikmat Surga

sumber :dari milis Melayu

Abu Hurairah r.a. berkata: Ya Rasulullah dari apakah dibuat syurga itu?
Jawab beliau: Dari Air.
Kami bertanya: Beritakan tentang bangunan syurga!
Jawab beliau: “ Satu bata dari emas dan satu bata dari perak dan lantainya kasturi yang semerbak harum, tanahnya dari za'faran, kerikilnya mutiara dan yakut, siapa yang masuk dalamnya senang tidak susah, kekal tidak mati tidak lapuk pakaiannya, tidak berubah mukanya.

Kemudian Nabi s.a.w. bersabda:
”Tiga macam doa yang tidak akan tertolak: imam (pemimpin / hakim) yang adil. Dan orang puasa ketika berbuka. Dan orang yang teraniaya, maka doanya terangkat di atas awan, dilihat oleh Tuhan lalu berfirman :” Demi kemuliaan dan kesabaranKu, Aku akan membantumu walau hanya menanti masanya”

Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda:
”Sesungguhnya di dalam syurga ada pohon besar sehingga seorang yang berkenderaan dapat berjalan di bawah naungannya selama seratus tahun tidak putus naungannya, bacalah: Wadhillin mamduud (dan naungan yang memanjang terus). Dan di dalam syurga kesenangannya yang tidak pernah dilihat mata atau didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terlintas dalam hati (perasaan) manusia, bacalah kamu: Maka tidak seorangpun yang mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari kesenangan yang memuaskan hari sebagai pembalasan apa yang telah mereka lakukan. Dan tempat pecut di dalam syurga lebih baik dari dunia seisinya. Bacalah ayat yang bermaksud: Maka siapa dijauhkan dari api dan dimasukkan dalam syurga bererti telah untung”
.
Ibn Abbas r.a. berkata: Sesungguhnya di dalam syurga ada bidadari yang dijadikan dari empat macam: misik, anbar, kafur dan za'faran, sedang tanahnya dicampur dengan air hidup (hayawan) dan setelah dijadikan maka semua bidadari asyik kepadanya, andaikan ia berludah dalam laut tentu menjadi tawar airnya, tercantum tulisan di lehernya: “Siapa yang ingin mendapat istri seperti aku maka hendaklah taat kepada Tuhanku.

Mujahid berkata: “ Bumi syurga dari perak dan tanahnya dari misik dan urat-urat pohonnya dari perak, sedang dahannya dari mutiara dan zabarjad, sedang daun dan buahnya di bawah itu, maka siapa yang makan sambil berdiri tidak sukar , dengan duduk juga tidak sukar dan sambil berbaring juga tidak sukar, kemudian membaca ayat: Dan dimudahkan buah-buahnya sehingga semudah-mudahnya. Sehingga dapat dicapai oleh orang yang berdiri mahupun yang duduk dan berbaring.

Abu Hurairah r.a. berkata: Demi Allah yang menurunkan kitab pada Nabi Muhammad s.a.w. Sesungguhnya ahli syurga tiap saat bertambah elok cantiknya, sebagaimana dahulu di dunia bertambah tua.

Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Shuhaib r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda yang berbunyi:
”Apabila ahli syurga masuk ke syurga dan ahli neraka telah masuk ke neraka, maka ada seruan: "Hai ahli syurga Allah akan menepati janjiNya kepada kamu"
Mereka berkata: Apakah itu, tidakkah telah memberatkan timbangan amal kami dan memutihkan wajah kami dan memasukkan kami ke dalam syurga dan menghindarkan kami dari neraka ".
Maka Allah membukakan bagi mereka hijab sehingga mereka dapat melihatNya, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya belum pernah mereka diberi sesuatu yang lebih senang daripada melihat kepada zat Allah.

Anas bin Malik r.a. berkata: Jibril datang kepada Nabi s.a.w. membawa cermin putih yang ditengahnya ada titik hitam.
maka Nabi s.a.w. bertanya kepada Jibril: Apakah cermin yang putih ini?
Jawabnya: Ini hari Jumat dan titik hitam ini saat mustajab yang ada di hari Jumat, telah dikurniakan untukmu dan umatmu, sehingga umat-umat yang sebelummu berada di belakangmu, iaitu Yahudi dan nashara (Kristian) dan ada saat di hari Jumat jika seorang mukmin bertepatan berdoa untuk kebaikan pada saat itu pasti ia akan diterima oleh Allah atau berlindung kepada Allah dari suatu bahaya pasti akan dihindarkannya dan hari Jumat di kalangan kami (malaikat) dinamakan yaumul mazid (hari tambahan).
Nabi s.a.w. bertanya: Apakah yaumul mazid itu?
Jawab Jibril: Tuhan telah membuat lembah di syurga jannatul firdaus, di sana ada anak bukit dari misik kasturi dan pada tiap hari Jumat di sana disediakan mimbar-mimbar dari nur (cahaya) yang diduduki oleh para nabi dan ada mimbar-mimbar dari emas bertaburan permata yaqut dan zabarjada di duduki para siddikin suhada' dan salihin, sedang orang-orang ahli ghurof (yang di bilik syurga) berada di belakang mereka di atas bukit kecil itu berkumpul menghadap kepada Tuhan untuk memuja muji kepada Allah, minta (Kami mohon keredaanMu).
Jawab Allah: Aku telah reda kepadamu, keredaan sehingga kamu Aku tempatkan di rumahKu dan Aku muliakan kamu, kemudian Allah menampakkan kepada mereka, sehingga mereka dapat melihat zatNya, maka tidak ada hari yang mereka suka sebagaimana hari Jumaat, karena mereka merasa bertambahnya kemuliaan kehormatan mereka.

Dalam lain riwayat: Allah menyuruh kepada Malaikat: Berikan makan kepada para waliKu, maka dihidangkan berbagai makanan maka terasa pada tiap suap rasa yang lain dari semula, bahkan lebih lazat, sehingga bila selesai makan, diperintahkan oleh Allah: Berikan minum kepada hamba-hambaKu, maka diberi minuman yang dapat dirasakan kelazatannya pada tiap teguk dan ketika telah selesai maka Tuhan berfirman yang bermaksud: Akulah Tuhanmu telah menepati apa yang Aku janjikan kepadamu dan kini kamu boleh minta niscaya Aku berikan permintaanmu. Jawab mereka:" Kami minta redaMu, Kami minta redaMu,
Dijawab oleh Allah: Aku ridho kepadamu, bahkan masih ada tambahan lagi dariKu, pada hari ini Aku muliakan kamu dengan kehormatan yang terbesar dari semua yang telah kamu terima, maka dibukakan hijab sehingga mereka dapat melihat zat Allah atas kehendak Allah, maka segeralah mereka bersujud kepada Allah sekehendak Allah, sehingga Allah menyuruh mereka: Angkatlah kepalamu sebab kini bukan masa beribadat, maka di situ mereka lupa pada nikmat-nikmat yang sebelumnya dan terasa benar bahwa tidak ada nikmat lebih besar daripada melihat zat Allah yang mulia. Kemudian mereka kembali maka semerbak bau harum dari bawah arsy dari bukit kasturi yang putih dan ditaburkan di atas kepala mereka di atas ubun-ubun kuda mereka maka apabila mereka kembali kepada isteri-isterinya terlihat bertambah indah lebih dari semula ketika mereka meninggalkan mereka, sehingga isteri-isteri mereka berkata: Kamu kini lebih tampan dari yang biasa.

Abul-Laits berkata: Terbuka hijab, bererti hijab yang menutupi mereka untuk melihatNya. Dan arti nasihat kepadaNya, yakni melihat kebesaran yang belum pernah terlihat sebelumnya, tetapi kebanyakan ahli ilmu mengertikan: Melihat zat Allah tanpa perumpamaan.

Ikramah berkata: Ketangkasan ahli syurga bagaikan orang umur 33 tahun lelaki dan perempuan sama-sama, sedang tingginya enam puluh hasta setinggi Nabi Adam a.s. muda-muda yang masih bersih halus tidak berjanggut, bola matanya, memakai tujuh puluh macam perhiasan, yang berubah warnanya tiap-tiap jam, tujuh puluh macam warna, maka dapat melihat mukanya di muka isterinya demikian pula di dadanya, dibetisnya, demikian pula isterinya dapat melihat wajahnya di wajah suaminya, dada dan betisnya, mereka tidak berludah dan tidak beringus, lebih-lebih yang lebih kotor, maka lebih jauh.

Dalam riwayat lain: Andaikan seorang wanita syurga menunjukkan tapak tangannya dari langit nescaya akan menerangi antara langit dan bumi.

Zaid bin Arqam r.a. berkata: Seorang ahli kitab datang kepada Nabi s.a.w. dan bertanya: Ya Abal-Qasim apakah kau nyatakan bahawa orang syurga itu makan dan munum? Jawab Nabi s.a.w.: Ya, demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangannya, seorang ahli syurga diberi kekuatan sertus orang dalam makan, minum dan jima' (bersetubuh). Ia berkata: Sedang orang yang makan, minum ia lazimnya berhajat, sedang syurga itu bersih tidak ada kotoran? Jawab Nabi s.a.w.: Hajat seseorang itu berupa peluh (keringat) yang berbau harum bagaikan kasturi.

Mu'tah bin Sumai mengenai firman Allah yang bermaksud: Thuba ialah pohon di syurga yang dahannya dapat menaungi tiap rumah di syurga, di dalamnya berbagai macam buah dan dihinggapi burung-burung besar, sehingga bila seorang ingin burung dapat memanggilnya dan segera jatuh di ata meja makannya dan dapat makan di sayap yang sebelah berupa dinding dan yang lain berupa panggangan, kemudian bila telah selesai ia terbang kembali.

Dari Al'amasy dari Abu Salih dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda yang artinya: Rombongan pertama akan masuk syurga dari umatku bagaikan bulan purnama, kemudian yang berikutnya bagaikan bintang yang amat terang di langit kemudian sesudah itu menurut tingkatnya masing-masing, mereka tidak kencing dan buang air, tidak berludah dan tidak ingus, sisir rambut mereka dari emas, dan ukup-ukup mereka dari kayu gahru yang harum dan peluh mereka kasturi dan bentuk mereka seperti seorang yang tingginya bagaikan Adam a.s. enam puluh hasta.

Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: Sesungguhnya ahli syurga itu muda semua, lurus, tidak ada rambut di kepala, alis dan kelopak mata, sedang janggut, kumis, ketiak dan kemaluan tidak ada rambut, tinggi mereka setinggi Nabi Adam a.s., enam puluh hasta, usianya bagaikan Nabi Isa 33 tahun, putih rupanya, hijau pakaiannya, dihidangkan kepada mereka hidangan, maka datang burung dan berkata: Hai waliyullah, saya telah minum dari sumber salsabil dan makan dari kebun syurga dan buah-buahan, rasanya sebelah badanku masakan dan yang sebelahnya gorengan, maka dimakan oleh orang itu sekuatnya.
Dan tiap orang wali mendapat tujuh puluh perhiasan, tiap perhiasan berbeda warna dengan yang lain, sedang di jari-jarinya ada sepuluh cincin, terukir pada jari yang pertama: Salam alaikum bima shobartum ( Selamat sejahteralah kamu kerana kesabaranmu)
kedua : Ud khuluha bisalamin aminin (Masuklah ke syurga dengan selamat dan aman)
ketiga: Tilkal janatullati urits tumu ha bima kuntum ta'malun (Itulah syurga yang diwariskan kepadamu kerana amal perbuatanmu)
keempat: Rufi'at ankumul ahzanu wal humum ( Telah dihindarkan dari kamu semua risau dan dukacita )
Kelima: Albasakum alhuli wal hulal (Kami memberimu pakaian dan perhiasan)
Keenam: Zawwa jakum ul hurul iin (Kami kahwinkan kamu dengan bidadari)
Ketujuh: Walakum fihamatasy tahihil anfusu wa taladzzul a'yun wa antum fiha khalidun ( Untukmu dalam syurga segala keinginan dn menyenangkan padangan matamu )
Kelapan: Rafaq tumunnabiyina wassdidiqin (Kamu telah berkumpul dengan para Nabi dan siddiqin)
Kesembilan: Shirtum syababa laa tahromun ( Kamu menjadi muda dan tidak tua selamanya)
)
Kesepuluh: Sakantum fi jiwari man laa yu'dzil jiran (Kamu tinggal dengan tetangga yang tidak mengganggu tetangganya)

Abul-Laits berkata: Sesiapa yang ingin mendapat kehormatan itu hendaklah menepati lima macam:
1.Menahan dari maksiat, kerana firman Allah yang bermaksud: Dan menahan nafsu dari maksiat maka syurga tempatnya.
2.Rela dengan pemberian yang sederhana sebab tersebut dalam hadis: Harga syurga itu ialah tidak rakus pada dunia.
3.Rajin pada tiap taat dan semua amal kebaikan, sebab kemungkinan amal itulah yang menyebabkan pengampunan dan masuk syurga, firman Allah yang bermaksud: Itu syurga yang diwariskan kepadamu kerana amal perbuatanmu.
4.Cinta pada orang-orang yang salih dan bergaul pada mereka sebab mereka diharapkan syafa'atnya sebagaimana dalam hadis yang bermaksud: Perbanyaklah kawan, kerana tiap kawan itu ada syafaatnya pada hari kiamat.
5.Memperbanyak doa dan minta masuk syurga dan husnul khotimah.

Sebagaimana ahli nikmat berkata: Condong kepada dunia setelah mengetahui pahala bererti satu kebodohan. Dan tidak bersungguh-sungguh beramal setelah mengetahui besarnya pahala bererti lemah malas dan di syurga ada masa istirehat tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang yang tidk pernah istirehat di dunia dan ada kepuasan yang tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang yang meninggalkan berlebihan di dunia dan cukup dengan kesederhanaan yang ada di dunia.

Ada seorang zahid makan sayur dan garam, lalu ditegur oleh orang :" Kamu cukup dengan itu tanpa roti? Jawabnya: Saya jadikan makan itu untuk syurga sedang kau jadikan untuk kotoran, kau makan segala yang lazat dan akhirnya jadi kotoran, sedang makan sekadar untuk menguatkan taat, semoga saya sampai ke syurga.

Ibrahim bin Adham ketika akan masuk ke tempat pemandian, dilarang oleh penjaganya: Jangan masuk kecuali jika membayar uangnya, maka ia menangis dan berdoa: Ya Allah seorang untuk masuk ke rumah syaitan tidak diizinkan tanpa upah, maka bagaimana saya akan masuk ke tempat para nabi dan siddiqin tanpa upah (Cuma-Cuma)?

Tersebut dalam wahyu yang diturunkan pada sebahagian para Nabi itu: Hai Anak Adam kau membeli neraka dengan harga mahal dan tidak mahu membeli syurga dengan harga murah, artinya: Adakalanya pengeluaran untuk maksiat itu banyak dan mudah, tetapi untuk sedekah kebaikan sedikit dan berat.

Abu Hazim berkata: Andaikata syurga itu tidak dapat dicapai kecuali dengan meninggalkan kesukaannya di dunia, niscaya itu ringan dan sedikit untuk mendapat syurga dan andaikan neraka itu tidak dapat dihindari kecuali dengan menanggung semua kesukaran-kesukaran dunia, niscaya itu ringan dan sedikit di banding keselamatan dari neraka. Padahal kamu dapat masuk syurga hanya dengan meninggalkan satu persen dari kesukaanmu dan dapat selamat dari neraka dengan sabar menderita satu persen dari kesukaran.

Yahya ban Mu'adz Arrazi berkata: Meninggalkan dunia berat, tetapi meninggalkan syurga lebih berat, sedang maharnya syurga ialah meninggalkan dunia.

Anas bin Malik r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda :
Siapa yang minta kepada Allah syurga sampai tiga kali, maka syurga berdoa: Ya Allah masukkan ia ke syurga dan siapa berlindung kepada Allah dari neraka tiga kali, maka neraka berdoa: Ya Allah hindarkan ia dari neraka.

Semoga Allah menghindarkan kami dari neraka dan memasukkan kami ke dalam syurga. Dan andaikan di dalam syurga itu tidak ada apa-apa kecuali bertemu dengan kawan-kawan nescaya itu sudah enak dan baik, maka bagaimana padahal di syurga itu segala kehormatan dan kepuasan itu semua ada.

Anas bin Malik r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda : Di dalam syurga ada pasar tetapi tidak ada jual beli, hanya orang-orang berkumpul membicarakan keadaan ketika di dunia dan cara beribadat, bagaimana keadaan antara si fakir dengan yang kaya dan bagaimana keadaan sesudah mati dan lama binasa dalam kubur sehingga sampai di syurga.

Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: Manusia semua akan berdiri di dekat neraka, kemudian mereka menyeberang di atas sirat (jambatan) di atas neraka, masing-masing menurut amal perbuatannya, ada yang menyeberang bagaikan kilat, ada yang bagaikan angin kencang dan yang bagaikan kuda yang cepat larinya dan seperti lari orang dan ada yang bagaikan terbang burung dan ada yang seperti unta yang cepat dan yang akhir berjalan di atas kedua ibu jari kakinya, kemudian tersungkur dalam neraka dan sirat itu licin, halus, tipis, tajam seperti pedang, berduri sedang di kanan kirinya Malaikat yang membawa rantai untuk menyeret orang-orang, maka ada yang selamat dan ada yang luka-luka tetapi masih selamat dan ada yang langsung tersungkur ke dalam api neraka, sedang para Malaikat itu sama-sama berdoa: Robbi sallim sallim (Ya Tuhan selamatkan, selamatkan) dan ada orang yang berjalan sebagai orang yang terakhir masuk ke syurga maka ketika ia selamat dari sirat terbuka baginya di syurga, sehingga ia berdoa: Ya Tuhan tempatkan saya di sini. Jawab Tuhan: Kemungkinan jika aku beri padamu tempat itu lalu minta yang lainnya? Jawabnya: Tidak, demi kemuliaanMu. Maka ditempatkan di situ, kemudian diperlihatkan kepadanya tempat yang lebih baik, sehingga ia merasa kerendahan tempat yang diberikan padanya, lalu ia berkata: Ya Tuhan tempatkanlah aku di situ, dijawab oleh Tuhan: Kemungkinan jika aku berikan kepadamu, kamu minta yang lainnya? Jawabnya: Tidak demi kemuliaanMu, kemudian diperlihatkan kepadanya syurga yang lebih baik, sehingga ia merasa bahawa tempatnya itu masih rendah, tetapi ia diam tidak berani minta beberapa lama, sehingga ditanya: Apakah kau tidak minta? Jawabnya: Saya sudah meminta lagi, maka firman Allah: Untukmu sebesar dunia sepuluh kali, maka inilah yang terendah tempat di syurga.
Abdullah bin Mas'ud berkata: Nabi s.a.w. jika menceritakan ini maka tertawa sehingga terlihat gigi gerahamnya.

Dalam hadis: Di antara wanita-wanita di dunia ini ada yang kecantikannya melebihi dari bidadari kerana amalan perbuatannya ketika di dunia.
Firman Allah SWT:
Kami ciptakan mereka baru dan kami jadikan mereka tetap gadis, yang sangat kasih dan cinta, juga tetap sebaya umurnya untuk orang-orang ahli yamin.

wallohu a'lam

Keutamaan dan Kekhususan Rasulullah SAW

Penyusun: Muhaimin Ashuri
Muroja’ah: Ustadz Afifi Abdul Wadud

Pertama: Rasulullah adalah Khotamun Nabiyyin
Sehingga tak ada Rasul lagi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebutkan tentang hal ini adalah,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab: 40)

Ayat ini berkaitan dengan penisbatan seorang sahabat, Zaid rodhiallahu ‘anhu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi Zaid bin Muhammad. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang penisbatan nasab kepada orang yang mengasuhya yang bukan orang tua aslinya, sehingga nama Zaid dikembalikan menjadi Zaid bin Haritsah rodhiallahu ‘anhu. Adapun kenapa Rasulullah tidak mempunyai anak laki-laki atau mempunyai anak laki-laki namun wafat di usia kecil, maka hikmahnya kita kembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lafadz ولكن وسول الله “Akan tetapi beliau adalah Rasulullah” Ini menunjukkan bahwa sekalipun beliau adalah manusia biasa namun beliau adalah Rasulullah, seorang manusia yang menjadi utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Ini hanya seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah menyebutkan bahwa beliau adalah Khotamun Nabiyyin. Beliau adalah bukan semata-mata Rasul yang diangkat oleh Allah, bukan semata-mata seorang Nabi. Namun beliau adalah seorang Rasul dan Nabi yang Allah jadikan sebagai penutup seluruh kenabian dan kerasulan yang pernah diutuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di tengah-tengah kehidupan manusia.

Lalu bagaimanakah dengan turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam yang akan turun di akhir zaman? Bukankah berarti ada Rasul yang akan datang setelah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Maka dikatakan oleh para ulama bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam datang bukan dengan membawa syariat yang baru, namun beliau beribadah kepada Allah dengan syariatnya Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan syariat sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka telah mansukh, telah Allah hapuskan dengan diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menggambarkan hubungannya dengan para Nabi yang pernah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke permukaan bumi, disebutkan dalam Shahihain, ibaratnya adalah orang-orang yang membangun rumah. Kemudian ketika rumah itu sudah nampak begitu indahnya, di sana nampak ada sebuah celah yang mengurangi kesempurnaan bangunan rumah tersebut Kemudian celah itu ditutup dengan keberadaan Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَثَلِيْ وَمَثَلُ اْلأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ فَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ وَاحِدَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوْفُوْنَ بِهِ وَيَعْجَبُوْنَ لَهُ وَيَقُوْلُوْنَ هَلاَّ وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ؟ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ.
Perumpamaan aku dan perumpamaan para Nabi itu adalah seperti orang yang membangun sebuah rumah, ia pun membangunnya dengan baik dan ia perindah kecuali satu tempat batu bata. Lalu orang-orang mengitari rumah itu dan sangat terkagum-kagum kepadanya, seraya berkata, “Kenapa tidak dipasang batu bata di sini?” Maka akulah batu bata itu dan aku adalah penutup para Nabi. (Muttafaqun ‘alaihi, Bukhari: 3535 dan Muslim: 2286)

Dengan demikian, salah satu akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kafirnya orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula dustanya orang yang mengaku atau mendakwahkan diri sebagai Rasul setelah diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidaklah manusia mengaku dirinya sebagai Nabi atau Rasul, setelah diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, imma dia adalah akdzabun nas atau ashdaqun nas, imma dia adalah orang yang paling pendusta atau orang yang paling jujur.

Oleh karena itulah, Musailamah yang yang mengaku dirinya sebagai seorang Nabi setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia digelari sebagai Musailamah Al-Kadzdzab (Musailamah sang pendusta). Memang, dia mendapatkan wahyu, namun wahyu yang dia dapatkan bukan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala namun wahyu dari syaithan. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (٢٢١)تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢٢٢)
Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan- syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. (QS. Asy-Syu’ara: 221 – 222)
Begitu pula, ketika Lia Aminuddin mendakwahkan dirinya telah kedatangan Jibril yang membawa wahyu kepadanya, maka yakinlah bahwa yang datang kepadanya tidak lain adalah syaithan atau iblis yang memang menurunkan wahyu kepadanya namun wahyu syaithan. Tidaklah manusia yang mempercayai apa yang ia ucapkan melainkan dia telah mendustakan Al-Qur’an dan mendustakan semua hadits yang telah disebutkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai khotamun nabiyyin menunjukkan telah sempurnanya syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak akan ada lagi Nabi atau Rasul yang akan diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuk membawa syariat yang baru). Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup risalahnya dengan risalah yang kaamilah, risalah yang saamilah, yakni risalah yang sempurna yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Dan ini adalah kenikmatan yang sangat besar, yang Allah turunkan kepada manusia yakni nikmat sempurnanya agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah: 3)

Kedua: Allah Memberikan Kepada Beliau Al-Maqaam Al-Mahmuud
Adapun yang dimaksud adalah Syafa’atul ‘Uzhma (syafa’at yang besar). Syafa’at adalah perantara untuk bisa memberikan manfaat atau faedah kepada orang lain. Dalam pembahasan syafa’at, syafa’at bisa diberikan di dunia dan bisa diberikan di akhirat.

Syafa’at di dunia bisa dalam bentuk memberikan pertolongan kepada manusia, bisa dalam bentuk akhlakul karimah (akhlak yang baik) yaitu jika dia menjadi perantara untuk terlaksananya suatu amal kebaikan. Seorang muslim yang menjadi perantara untuk bisa menikahnya seorang ikhwan dengan seorang akhwat, maka dia telah menjadi syaafi’ yakni orang yang memberi syafa’at kepada orang lain sehingga terlaksananya sebuah kebaikan. Ini adalah salah satu contoh syafa’at di dunia.

Adapun yang dimaksud dengan Syafa’atul ‘Uzhma (syafa’at yang besar) pada pembahasan di sini adalah syafa’at di akhirat kelak.
Syafa’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya, sebenarnya bukan hanya Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak kepada seluruh Nabi dan Rasul untuk memberikan syafa’at, demikian pula Allah memberikan hak kepada para Syuhada untuk memberikan syafa’at, dan Allah memberikan hak pula kepada beberapa orang dari hamba-Nya untuk memberikan syafa’at. Bahkan seorang anak kecil bisa memberikan syafa’at kepada ayahnya.

Akan tetapi, ada syafa’at khusus yang hanya dimiliki oleh Rasulullah muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya adalah Asy-Syafa’atul ‘Uzhma yakni Syafa’at yang besar yang menunjukkan bahwa beliau memiliki kedudukan yang istimewa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan pemberian syafa’at di akhirat kelak, semuanya terjadi atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan orang yang diberi syafa’at adalah orang yang telah diridhai dan telah diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak akan terjadi pemberian syafa’at kecuali kepada ahlul iman dan ahlut tauhid.

Adapun orang-orang kafir dan musyrikin, mereka tidak akan pernah mendapatkan syafa’at meskipun sejak sekarang mereka sudah memboking syafa’at terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada para wali. Seperti yang terjadi pada sebagian kaum muslimin, yang pergi ke makam kuburan para wali, Syaikh Abdul Qadir Jaelani, atau bahkan ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khayalan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang telah Allah berikan hak untuk memberikan syafa’at. Ini adalah bentuk-bentuk kesyirikan yang diingatkan oleh para ulama, dan ini justru yang akan membatalkan baginya untuk mendapatkan syafa’at dari mereka meskipun sejak sekarang mereka telah meminta syafa’at itu. Mereka tidak akan mendapatkan syafa’at karena mereka telah terjatuh kepada kesyirikan.

Dimana letak kesyirikannya? Yakni mereka telah meminta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara-perkara yang mereka (para wali maupun orang shaleh yang dimintai) tidak memiliki wilayah kekuasaanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا (١٨)
Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu meminta kepada seseorangpun bersamaan kalian meminta kepada Allah. (QS. Jinn: 18)
Semua sujud hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka janganlah kamu meminta kepada seseorangpun bersamaan kalian meminta kepada Allah, yakni dalam perkara-perkara yang hanya Allah-lah yang sanggup memberikan. Termasuk di dalamnya masalah meminta syafa’at. Tidak ada yang berhak mengeluarkan atau memberi syafa’at kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala atau orang-orang yang telah Allah berikan izin untuk memberikan syafa’at.

Intinya, ahlus syirik tidak akan mendapatkan syafa’at meskipun mereka sejak sekarang terus meminta syafa’at kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ingin mendapatkan syafa’at, maka manusia harus menjadi ahlut tauhid dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kelazimannya. Bukan dengan cara meminta langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah syafa’at.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap syafa’atnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau adalah manusia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hak untuk memberikan syafa’at?

Yang benar bukanlah, “Ya Rasulullah, berikanlah syafa’atmu kepadaku.” Akan tetapi, “Ya Allah jangan haramkan syafa’at Nabi-Mu atas diriku.” Sehingga memintanya adalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan kepada Rasulullah muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena meskipun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan hak kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan syafa’at, namun tak ada satupun makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa memberikan syafa’at secara langsung. Semuanya melalui izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah diberikan izin, barulah bisa memberikan syafa’at. Sehingga orang yang memberikan syafa’at (Syafi’) harus mendapatkan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu pula orang yang diberikan syafa’at adalah orang yang diberikan izin dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan kesyirikan tidak akan pernah Allah ridhai perkaranya.

Untuk Syafa’atul ‘Uzhma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memberikan syafa’at itu kecuali atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Peristiwa Syafa’atul ‘Uzhma adalah peristiwa di mana setiap orang merasakan betapa dahsyatnya menunggu pengadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua manusia gelisah dan dalam keadaan tegang. Semua manusia mengeluhkan tentang suasana yang ada. Kemudian mereka sepakat untuk mencari orang yang bisa memintakan kepada Allah tentang keadaan mereka. Mereka datang kepada Abul Basyar (bapaknya manusia) yakni Adam ‘alaihissalam. Dan ini adalah dalil bahwasanya ketika mereka datang kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan mereka menyebutkan bahwa engkau adalah Abul Basyar, maka Adam adalah manusia pertama dan menjadi cikal bakal manusia yang berkembang biak sekarang ini. Kalaupun ada yang percaya bahwa cikal bakal kita adalah kethek (kera) sebagaimana yang disampaikan oleh Darwin, maka juallah akal kita kepada Yahudi.

Karena yang mengeluarkan model pemikiran semacam ini adalah Yahudi. Adapun Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa Abul Basyar adalah Nabiyullah Adam ‘alaihissalam.
Nabiyullah Adam menyampaikan udzur karena beliau telah melakukan kesalahan dan tidak layak memohonkan syafa’at kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu datanglah mereka kepada Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam, yang mereka sebutkan bahwa Nuh adalah awwalu rasulin, yakni rasul pertama yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyelesaikan masalah syirik. Sehingga kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi adalah pada umatnya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam. ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ada sepuluh kurun. Kalau 1 kurun sama dengan 100 tahun maka 10 kurun sama dengan 1000 tahun. Selama 1000 tahun ini semua manusia masih tegak di atas agama tauhid.
Apakah selama itu belum ada kezhaliman? Ada. Sebagaimana dalam catatan sejarah, ada peristiwa kezhaliman antara Qabil dan Habil dalam bentuk pembunuhan. Akan tetapi tingkat penyimpangan yang ada belum sampai pada tingkat kesyirikan.
Kezhaliman terbesar yaitu penyembahan kepada wadd, suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr, yang terjadi pada umatnya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (٢٣)
Dan mereka (kaumnya Nabi Nuh) berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (QS. Nuh: 23)

Ketika terjadi kesyirikan itu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabiyullah Nuh untuk mengajak kaum musyrikin agar kembali kepada agama tauhid. Sehingga dikatakan bahwa Nuh adalah Rasul pertama yang diutus untuk menyelesaikan masalah kesyirikan.

Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam juga menyampaikan udzur, sebagaimana juga beliau meminta kepada Allah untuk anaknya namun ditolak oleh Allah karena anaknya adalah mati dalam keadaan kufur. Kemudian mereka datang kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, namun semuanya menyampaikan udzur. Masing-masing menyatakan pernah berbuat kesalahan. Lalu mereka datang pula kepada Nabiyullah ‘Isa ‘alaihissalam, dan beliau tidak berkomentar apa-apa dan juga tidak menyanggupinya.

Kemudian mereka datang kepada Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Ana laha.” Yakni sayalah yang memiliki hak dalam masalah ini. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung begitu saja memberikan syafa’at? Tidak!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyampaikan pujian-pujian yang belum pernah dikemukakan sebelumnya, yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan kepada beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Muhammad, irfa’ ra’saka.” (Ya Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah syafa’at kepadaku, engkau akan aku izinkan untuk memberikan syafa’at.) Baru setelahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan syafa’at kepada mereka. Jadi bukan langsung begitu saja sebagaimana yang mereka bayangkan, sehingga mereka meminta syafa’at langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meminta syafa’at haruslah tetap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni agar Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkan kita untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi, Syafa’atul ‘Uzhma ini adalah salah satu kekhususan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan secara khusus kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan salah satu kedudukan istimewa. Sehingga salah satu do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ba’da adzan adalah agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan maqaaman mahmuudan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
((اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، [إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ] )).
Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah kepada Muhammad Al-Wasilah dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan beliau ke maqaaman mahmuudan (kedudukan yang terpuji) yang telah Engkau janjikan kepadanya. (Sesungguhnya Engkau tidak pernah memungkiri janji) (HR. Bukhari I/152. yang ada dalam tanda kurung adalah riwayat Al-Baihaqi. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dalam Tufhatul Akhyaar hal. 38 menyatakan sanad riwayat ini hasan. Lihat Hisnul Muslim bab Dzikir dan Doa Adzan).

Maqaaman mahmuudan (sebuah kedudukan yang terpuji) di sini maksudnya adalah Syafa’atul ‘Uzhma. Atau dinyatakan pula dalam sebuah ayat dinyatakan:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (٧٩)
Dan pada sebahagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke maqaaman mahmuudan (tempat yang terpuji). (QS. Al-Israa’: 79)

Ketiga: Risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersifat Umum
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ila tsaqalain yakni kepada dua bangsa yang berat (jin dan manusia). Risalahnya jin menginduk kepada risalahnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga para ulama menerangkan bahwa pada asalnya, manusia lebih mulia dari pada jin. Oleh karena itu, orang yang takut kepada jin berarti dia telah menghinakan dirinya. Karena pada asalnya dia lebih mulia dari pada jin.

Oleh karena itu pula, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (٦)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. Jin: 6). Sehingga ketika manusia menyembah kepada jin maka jin semakin berbangga diri karena merasa dimuliakan oleh manusia.

Ringkasnya, golongan jin dan manusia, dua-duanya tercakup dalam risalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keumuman risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar umum untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk bangsa ‘Arab. Sehingga kalimat-kalimat panggilan yang ada di dalam Al-Qur’an tidak seperti panggilan dalam kitab Injil atau kitab Taurat seperti “Ya banii israa’il” (wahai anak-anak Isra’il). Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menurunkan Taurat dan Injil, tidak lain yang menjadi sasarannya adalah bani Isra’il, yakni terbatas hanya untuk kaum tertentu.

Adapun risalahnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup seluruh manusia. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an, kalimat panggilannya adalah “Ya ayyuhan naas.” (wahai manusia).
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٢٨)
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS. Saba’: 28)
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
Katakanlah: “Hai manusia, Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-A’raf: 158).

Sedangkan untuk golongan jin, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ceritakan:
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ (٢٩)قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ (٣٠)يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (٣١)
Dan (Ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, Sesungguhnya kami Telah mendengarkan Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” ”Hai kaum kami, sambutlah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (QS. Al-Ahqaaf: 29 - 31)

Mereka ini adalah da’i dari golongan jin yang belajar kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengarkan dengan baik, lalu mereka kembali kepada kaumnya dan menyeru kaumnya agar mereka beriman kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faedah dari ayat ini diantaranya adalah bahwa syari’at yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meliputi golongan jin dan manusia. Sehingga golongan jin juga bersyari’atkan kepada syari’at yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikan pula ketika mereka (golongan jin) menceritakan keadaan mereka, mereka berkata bahwa diantara mereka ada yang shalih dan ada yang thalih.
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا (١١)
Dan Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS. Jin: 11)
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا (١٤)
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. (QS. Jin: 14)

Keempat: Allah Subhanahu wa Ta’ala Memberikan Al-Qur’an Sebagai Mu’jizat Luar Biasa yang Tetap Abadi Sepanjang Zaman
Mu’jizat adalah sesuatu yang melemahkan. Dan biasanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Mu’jizat kepada para Rasul dengan Mu’jizat yang dapat mengalahkan apa yang mereka unggulkan di zaman tersebut. Di zaman Nabiyullah Musa ‘alaihissalam, yang paling unggul di zaman itu adalah sihir. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tongkat kepada Nabiyullah Musa ‘alaihissalam untuk mengalahkan sihir-sihir mereka. Sehingga para tukang sihir tidak sanggup lagi menghadapi apa yang dimiliki oleh Nabiyullah Musa ‘alaihissalam. Bahkan mereka tahu persis bahwa apa yang ada pada Nabi Musa bukanlah sihir. Karena mereka tahu persis tentang masalah sihir.

Di zaman Nabiyullah ‘Isa ‘alaihissalam, yang paling unggul adalah pengobatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Mu’jizat kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dengan Mu’jizat yang tidak bisa ditandingi oleh kaumnya. Dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi ‘Isa ‘alaihissalam bisa menyembuhkan orang yang terkena sakit sopak dan dapat menghidupkan orang yang telah mati.

Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling diunggulkan adalah sya’ir. Sehingga setiap tahunnya, mereka berkumpul untuk mengadakan lomba dalam masalah sya’ir. Kemudian sya’ir yang menjadi juara ditempelkan dan kabilahnya akan menjadi kabilah yang akan dimuliakan oleh kabilah-kabilah yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an yang mana semua ahli sya’ir mengetahui bahwa Al-Qur’an jauh lebih mulia dari pada sya’ir-sya’ir yang pernah mereka miliki. Oleh karena itu seorang ahli sya’ir, Al-Walid bin Al-Mughirah, bisa merasakan kelezatan yang luar biasa ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi sebagaimana Fir’aun, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ceritakan:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. (QS. An-Naml: 14)

Akan tetapi karena kezhaliman dan keangkuhan yang ada pada diri mereka, maka jadilah mereka sebagai manusia yang melakukan penentangan. Sehingga penentangan mereka terhadap risalah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain adalah karena kesombongan dan keangkuhan mereka. Sebenarnya hati kecil mereka mengakuinya namun dikalahkan dengan kesombongan dan keangkuhannya sehingga menjadikannya sebagai orang yang menentang kebenaran, tidak lain hanyalah karena pertimbangan duniawi semata-mata.

Kelima: Allah Subhanahu wa Ta’ala Memberikan Isra’ dan Mi’raj Kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dan ini sekaligus menjadi batu ujian untuk seluruh kaum muslimin karena setelah peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dicaci maki dengan cacian yang lebih dahsyat lagi oleh orang-orang kafir Quraisy. Hal ini berkaitan dengan pertimbangan logika pada saat itu.

وَصَلَّ اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

JUAL GORDEN CANTIK

ALYA GORDEN -Kertayasa-Kramat-Tegal Jl. Barat Balai Desa Kertayasa RT02/RW03- Kec.Kramat-Kab Tegal -50M dari Balai desa. Terima pesanan G...